blog pernikahan

Kua online

MUDZAKAROH

JADWAL SHOLAT

New Comment

Kafa’ah Untuk Menuju Keluarga Sakinah

Diposting oleh M. Aminudin On 20.58

Manusia secara kodrat membutuhkan seseorang yang mendampingi dirinya dalam menjalani kehidupan. Perkawinan adalah cara untuk mewujudkannya. Ini agar manusia mendapatkan kedamaian hidup dengan cara yang elegan, syah dan berwibawa.

Sebagaimana yang tercantum dalam Al Quran “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan dari dirimu sendiri pasangan kamu, supaya kamu hidup tenang bersamanya, dan Dia jadikan rasa kasih sayang sesama kamu. Sesungguhnya dalam hal itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.
Untuk terciptanya keluarga yang sakinah penuh mawaddah dan rahmah tersebut, haruslah ada keharmonisan dan keserasian di antara kedua belah pihak (suami-istri).


Dalam kitab-kitab fikih kesetaraan ini selalu disebut dengan kafa‘ah atau kufu. Ulama yang mendukung perlunya kafa’ah ataupun kesetaraan sosial dalam perkawinan berusaha menguatkan pendapatnya dengan beberapa hadis Rasulullah antara lain: 1. Hadis dari ‘Aisyah dan Umar r.a “Sungguh, aku mencegah perkawinan perempuan-perempuan terhormat kecuali dengan laki-laki yang sekufu”. (H.R. al-Daruqutni), juga hadis dari Ali ra “Tiga perkara yang tidak boleh ditunda-tunda yaitu shalat bila telah tiba waktunya, menguburkan jenazah bila sudah dikafani dan perempuan yang telah ditemukan laki-laki yang sekufu dengannya”. (H.R. al-Tirmizi dan Hakim).

A. Pengertian Kafa’ah
Kafa‘ah berarti sama, sepadan, sebanding. Maksud kafa’ah dalam perkawinan yaitu bahwa seorang suami sebanding dengan istrinya, sama kedudukannya, sebanding dalam status sosialnya, juga dalam akhlak dan kekayaannya. Mai Yamani mengartikan kafa‘ah dengan kesederajatan dan kesesuaian.

Zakiah Daradjat mendefinisikan kafa’ah dengan serupa, seimbang dan serasi, maksudnya ialah keseimbangan dan keserasian antara calon suami dan istri sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kafa’ah adalah kesetaraan yang perlu dimiliki oleh calon suami dan istri agar dihasilkan keserasian hubungan suami-istri dalam rangka menghindarkan ketidakharmonisan dalam rumah tangga nantinya.

B. Unsur Kafa’ah Menurut Imam Mazhab
Jumhur ulama berpendapat bahwa kufu itu selain diukur dengan agama yang baik, jujur dan budi luhur, mereka menambah hal-hal lain yang wajib diperhatikan pula. Hanafiah berpendapat bahwa unsur kafa’ah ada enam, yaitu: agama, keislaman, kemerdekaan, keturunan, harta kekayaan, dan profesi atau pekerjaan.

Menurut mereka, cacat yang menyebabkan hak khiyar tidak termasuk dalam unsur kafa‘ah. Menurut Syafi’iyah ada lima unsur kafa’ah, yaitu: agama, kemerdekaan, keturunan, selamat dari cacat yang menyebabkan hak khiyar dan pekerjaan. Hanabilah menyebutkan lima unsur yang sedikit berbeda dari Syafi’iyah, yaitu: agama, kemerdekaan, keturunan, harta kekayaan dan keahlian atau pekerjaan.

Berikut ini akan dijelaskan apa maksud dari unsur-unsur kafa’ah dan pendapat para ulama tentang hal-hal tersebut.

1. Agama (ad-din). Yang dimaksud dengan unsur agama ialah komitmennya terhadap ajaran agama ataupun kesalehannya. Maka laki-laki yang fasik tidak kufu dengan perempuan yang salihah.

2. Keislaman (al-Islam) maksudnya adalah keturunan Islam. Jadi, laki-laki yang baru dia sendiri yang masuk Islam tidak kufu dengan perempuan yang ayahnya pun sudah Islam. Laki-laki yang dia dan ayahnya telah Islam tidak kufu dengan perempuan yang ayahnya dan kakeknya sudah Islam. Unsur keislaman ini khusus pendapat Hanafiah terhadap selain orang Arab, sementara jumhur tidak menyetujuinya.

3. Kemerdekaan (al-Hurriyah). Jumhur ulama (Hanafiah, Syafi’iyah dan Hanabilah) sepakat bahwa kemerdekaan menjadi salah satu unsur kafa’ah, maka laki-laki budak tidak sekufu dengan perempuan merdeka. Bahkan Hanafiah dan Syafi’iyah menambahkan bahwa budak laki-laki yang sudah merdeka tidak kufu dengan perempuan yang merdeka sejak dari asal, dan laki-laki keturunan budak tidak kufu dengan perempuan yang kakek neneknya tidak ada yang pernah jadi budak. Malikiyah tidak memasukkan kemerdekaan sebagai unsur kafa’ah.

4. Keturunan (al-Nasab). Yang dimaksud dengan keturunan adalah hubungan seseorang dengan asal-usulnya yaitu ayah dan nenek moyangnya, seorang anak jelas siapa ayahnya, bukan anak pungut. Malikiyah tidak menganggap keturunan sebagai ukuran kufu, namun jumhur berpendapat bahwa orang Arab kufu sesama Arab, dan orang Quraisy adalah kufu sesama Quraisy. Oleh sebab itu laki-laki Arab tidak kufu dengan perempuan Arab, dan laki-laki Arab bukan dari suku Quraisy tidak kufu dengan perempuan Quraisy. Masalah kufu dengan keturunan hanya berlaku untuk sesama bangsa Arab dan antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lainnya. Adapun sesama yang bukan Arab, konon menurut mereka tidak ada istilah kufu dalam keturunan.

5. Harta kekayaan (al-Mal), adalah kesanggupan membayar mahar secara tunai dan nafkah perkawinan nantinya, bukan kaya dalam arti orang yang memiliki harta yang melimpah. Unsur ini tidak disetujui oleh ulama Malikiyah dan Syafi’iyah, karena harta bukanlah sesuatu yang permanen pada seseorang. 6. Profesi atau pekerjaan (al-Hirfah, al-Mihnah), pekerjaan yang dilakukan seseorang untuk mencari rizki demi kelangsungan hidupnya, biasa juga disebut mata pencaharian. Jumhur ulama selain Malikiyah menganggap pekerjaan sebagai salah satu ukuran kafa’ah.

Pekerjaan calon suami atau keluarganya, sama atau mendekati pekerjaan calon istri atau keluarganya. Oleh sebab itu seorang laki-laki yang pekerjaannya kasar dan rendah, tidak kufu dengan perempuan dari keluarga yang pekerjaannya terhormat. 7. Selamat dari cacat rohani dan jasmani yang menyebabkan adanya khiyar, seperti gila, berpenyakit kusta ataupun sopak.

Malikiyah dan Syafi’iyah menjadikan hal ini sebagai salah satu unsur kafa’ah. Oleh karenanya, seseorang yang mempunyai cacat ini, baik laki-laki maupun perempuan tidak kufu dengan orang yang sehat dari cacat ini. Dari penjelasan di atas, dapat kita ketahui bahwa fuqaha sepakat tentang keharusan kufu dalam hal agama, sedangkan unsur-unsur lainnya mereka berbeda pendapat.

Dalam hal merdeka, keturunan dan profesi atau keahlian, Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah tidak menyepakatinya sebagai unsur kafa’ah. Tentang harta kekayaan hanya disepakati oleh Hanafiyah dan Hanabilah. Unsur keislaman hanya khusus pendapat Hanafiyah dan selamat dari cacat rohani dan jasmani yang menyebabkan khiyar hanya disepakati oleh Malikiyah dan Syafi’iyah.

Ketika Islam datang, nilai-nilai kesetaraan, kesederajatan atau kafa’ah ini masih berlaku, hanya saja ukurannya adalah agama dan takwa. Kafa’ah dalam agama adalah merupakan falsafah hidup sesuai ajaran Rasulullah. la diukur dari segi muslim dan non muslim, salih dan fasiq, berbudi luhur dan lacur.

Dalam ajaran Islam, setiap lelaki bebas, berhak dan dibenarkan menurut hukum menikahi perempuan (dengan status apapun), selama tidak merusak ketentuan agamanya. Kita memang dapat memilih ketujuh unsur kafa’ah yang diajukan para Imam Mazhab, namun hendaklah itu semua bersifat sekunder dan dibungkus oleh payung keimanan yang mengarah pada pemikiran dan komitmen kuat mencapai kebahagiaan pernikahan dunia dan akhirat.

0 Response to "Kafa’ah Untuk Menuju Keluarga Sakinah"

Posting Komentar

Tulis komentar anda disini