blog pernikahan

Kua online

MUDZAKAROH

JADWAL SHOLAT

New Comment

Pengembangan Profesionalisme Penghulu

Diposting oleh M. Aminudin On 09.06 0 komentar

Berdasarkan Keputusan MENPAN nomor PER/62/M.PAN/6/2005 tentang Jabatan Fungsional Penghulu dan Angka Kreditnya serta Peraturan Bersama Menteri Agama RI dan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 20 Tahun 2005 dan nomor 14 A tahun 2005 tentang Petunjuk pelaksanaan Jabatan Fungsional dan Angka Kreditnya disebutkan bahwa, Penghulu adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai Pegawai Pencatat Nikah yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh Menteri Agama atau pejabat yang diberi wewenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan pengawasan nikah, rujuk menurut agama Islam dan kegiatan kepenghuluan. Penghulu adalah jabatan fungsional termasuk dalam rumpun keagamaan.

Jabatan fungsional penghulu merupakan salah satu cara untuk membina karier dan peningkatan mutu profesionalisme PNS yang berorientasi pada prestasi kerja. Sehingga tujuan untuk mewujudkan PNS sebagai aparatur negara yang berdaya guna dan berhasil guna dalam melaksanakan tugas umum pemerintahan dan pembangunan akan dapat tercapai. Dalam pelaksanaan tugas jabatan fungsional didasarkan kepada keahlian atau keterampilan tertentu dan bersifat mandiri.

Tantangan yang dihadapi penghulu saat ini adalah bagaimana upaya meningkatkan pelayanan dan konsultasi nikah rujuk (NR) serta pengembangan kepenghuluan secara baik dan optimal. Peningkatan pelayanan dalam pencatatan dan konsultasi N/R serta pengembangan kepenghuluan akan dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan apabila didukung oleh kinerja penghulu yang profesional.

Sinamo J.H dalam Ummu Salamah (2002) mengemukakan bahwa dalam memasuki kehidupan abad ke 21 dengan ciri arus globalisasi semakin kompleks serba kompetitif tidak terbayangkan ada organisasi, perusahan negara, dan bahkan pribadi-pribadi yang bisa bertahan tanpa memiliki profesionalisme. Para profesional dari berbagai disiplin ilmu dan keahlian sudah merambah dan menyebar ke seluruh dunia serta dapat bekerja dimana saja, karena mereka memiliki wawasan kosmopolitan menjadi warga dunia yang mampu memberikan kontribusinya kapan saja dan dimana saja tanpa batas ruang dan waktu.

Berangkat dari hal tersebut para penghulu dituntut untuk selalu peduli terhadap perubahan dan dinamika kehidupan masyarakat serta senantiasa berupaya meningkatkan profesionalisme dalam tugas, wewenang, tanggung jawab dan haknya agar selalu siap dan mampu mengisi struktur kemasyarakatan di segala bidang, khususnya yang menyangkut masalah-masalah kepenghuluan.

Makna Profesionalisme Penghulu

Kata profesionalisme berasal dari bahasa Inggeris; profesion berarti pencaharian, sedangkan profesional berarti bermata pencaharian dari suatu keahlian. Maka profesionalisme dapat diartikan aliran, ajaran atau tuntunan dalam mencapai suatu keahlian. Secara lebih tegas, profesionalisme adalah kemampuan, keahlian dan keterampilan serta pengetahuan seseorang yang cukup tinggi untuk keberhasilan bidang tugas / kegiatan tertentu.

Prediket profesional dapat diunjukan terhadap seseorang, apabila ia memiliki pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang lebih tinggi dalam melaksanakan profesinya. Untuk menjadi profesional dalam tugas tertentu, maka seseorang harus mempersiapkan diri lebih dahulu melalui pendidikan yang tepat dan pengalaman serta pengemblengan mental yang memadai, kata istilah profesionalisme mengandung watak kerja yang menjadi persyaratan dari setiap kegiatan pemberian jasa profesi seperti mencitrakan refleksi integritas diri yang bermoral, berwatak, berkarakter serta memiliki kompetensi dan mempunyai pemahaman yang luas serta kesadaran terhadap pentingnya visi dan missi profesi, sehingga seseorang yang profesional adalah refleksi ilmu amaliah dan amal ilmiah sebagai ibadah Ilahiyah (ketuhanan) dan khidmah insaniyah (kemanusian).

Sikap profesional memiliki dasar yang berkaitan dengan prinsip dan norma dan nilai-nilai dalam Islam, seperti yang terdapat pada prilaku dan sifat-sifat :

a. As-Shidqu, artinya benar, jujur, tidak dusta, berhati nurani, bersungguh-sungguh dan berakal sehat.

b. Al-Amanah wal wafaa bil ’ahdi, artinya dipercaya, tepat janji, tidak khianat, setia dan terbuka.

c. Al-Fathanah artinya cerdas, cendikia dan memiliki pandangan kedepan (visi dan misi).

d. At-Tabligh artinya kemampuan berkomunikasi, berinteraksi untuk menyampaikan amar makruf dan nahi mungkar.

e. Al-Adalah artinya adil, egalitarian, emansipasi, transendensi serta propersional.

f. At-Ta’aawun artinya solidaritas, tolong menolong, setia kawan, solidaritas, sinergi serta gotong royong.

g. Al-Istiqamah artinya teguh pendirian, konsisten.

Sikap profesional memilki kaitan erat dengan ajaran agama Islam, bahwa Allah akan menyikapi dan memperlakukan hamba-Nya, sebagaimana hamba itu menyikapi dan memperlakukan sesamanya. Artinya Allah SWT akan senantiasa memberikan pertolongan kepada seseorang selama orang itu memperhatikan dan mengulurkan pertolongan kepada sesamanya. Hakikat kebahagian itu adalah ketika membahagiakan orang lain, sedangkan hakikat kemuliaan itu adalah ketika memuliakan orang lain. Begitu pula hakikat kemartabatan adalah ketika menjunjung tinggi harkat dan martabat orang lain. Setiap orang agar membahagiakan semua orang, jika belum bisa membahagiakan semua orang paling tidak ada seorang pun yang dicedarai dan sikati.Sebaik-baiknya seseorang adalah yang paling banyak memberikan manfaat kepada sesamanya (al-hadis).

Profesi Penghulu

Profesi Penghulu seperti tercantum pada pasal 4 PERMENPAN Nomor : PER/62/M.PAN/6/2005 dinyatakan bahwa tugas pokok penghulu adalah melakukan perencanaan kegiatan kepenghuluan, pengawasan pencatatan Nikah/Rujuk, pelaksanaan pelayanan nikah/Rujuk, penasehatan dan konsultasi nikah / Rujuk, pemantauan pelanggaran ketentuan Nikah / Rujuk, pelayanan fatwa hukum munakahat dan bimbingan mu’amalah dan evaluasi kegiatan kepenghuluan.

Mempedomani ketentuan tersebut, maka profesi penghulu antara lain :

1. Pelayanan dan konsultasi Nikah / Rujuk :
1. Perencanaan kegiatan kepenghuluan
2. Pengawasan pencatatan nikah / rujuk
3. Pelaksanaan pelayanan nikah / rujuk
4. Penasehatan dan konsultasi nikah / rujuk
5. Pemantauan pelanggaran nikah / rujuk Pelayanan fatwa hukum munakahat dan bimbingan muamalat
6. Pembinaan keluarga sakinah
7. Pemantauan dan evaluasi kegiatan kepenghuluan.

2. Pengembangan Kepenghuluan
1. Pengkajian masalah hukum munakahat ( bahsul masail munakahat dan ahwal as syakksiyah )
2. Pengembangan metode penasihatan, konseling dan pelaksanaan nikah / rujuk
3. Pengembangan perangkat standar pelayanan nikah / rujuk
4. Penyusunan kompilasi hukum munakahat
5. Koordinasi kegiatan lintas sektoral di bidang kepenghuluan.

Kompotensi Profesionalisme Penghulu

Penghulu secara formal adalah sebagai pejabat fungsional PNS, tetapi dilain pihak dia adalah publik figur yang harus mampu berperan sebagai tokoh / pemuka agama Islam, tokoh masyarakat dan harus mampu menyatu dalam kehidupan masyarakat serta menjadi panutan. Untuk kelancaran dan kesuksesan tugas, fungsi dan tuntutan pelayanan yang kompleks, maka penghulu haruslah memiliki kompetensi antara lain:

1. Kemampuan Manajerial

Penghulu bukanlah pejabat pembuat kebijakan, namun dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya banyak terkait dengan fungsi manajemen. Menurut Dann N.Suganda (1992:38) bahwa fungsi manajemen dan fungsi administrasi dapat diartikan sebagai fungsi pemimpin yang terdiri atas :

1. Objective setting ( penetapan tujuan)
2. Coordinating ( pengkordinasian)
3. Planning ( perencanaan)
4. Exuting ( pemberian perintah pelaksanaan)
5. Organizing ( pengorganisasian)
6. Persuading ( pemberian dorongan)
7. Leading ( pemimpin)
8. Evaluatin ( penilaian yang didalamnya teolah memuat pengawasan (controling)
9. Managing ( pengendalian dalam rankga mengelola sumber-sumber.

2. Kemampuan Konseptual ( visioning and strategising)

Yang dimaksud dengan kemampuan konseptual adalah keterampilan penghulu dalam memadukan seluruh kegiatan kepenghuluan agar kegiatan-kegiatanya dapat mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Semua komponen kegiatan dilakukan secara terpadu dengan cara menetapkan visi dan misi berupa gambaran tentang bentuk kegiatan, visi dan misi tersebut dijabarkan menjadi program kerja jangka pendek.

1. Kemampuan Tekhnis.

Kemampuan penghulu dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi serta keterampilannya dalam menerapkan tekhnik dan prosedur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tekhnis kepenghuluan yang berkaitan dengan tugas pokok penghulu meliputi :

* Penguasaan terhadap peraturan perundang-undangan tentang perkawinan, pembinaan keluarga sakinah, kompilasi hukum Islam dan hukum munakahat.

* Prosedur dan proses pencatatan nikah :

a) Tata cara penerimaan pemberitahuan kehendak nikah

b) Tata cara pemeriksaan kedua calon mempelai dan wali nikah

c) Pengumuman kehendak nikah

d) Penolakan kehendak nikah

e) Pelaksanaan akad nikah

f) Pencatatan nikah

g) Penulisan buku nikah / kutipan akta nikah.

* Prosedur dan proses pencatatan rujuk

a. Tata cara pemeriksaan calon yang berkehendak rujuk

b. Penghitungan masa iddah

c. Pelaksanaan rujuk

d. Pencatatan rujuk

e. Penulisan, penandatangan dan penyerahan buku rujuk

f. Pemberitahuan peristiwa rujuk ke PA

* Penasehatan dan konsultasi Nikah /Rujuk

a. Penyusunan materi penasehatan

b. Pemilihan dan penerapan metode yang tepat dalam penasehatan.

c. Penasehatan N/R

d. Penganalisaan kasus dan problematika rumah tangga

* Pemantauan Pelanggaran ketentuan Nikah

a. Penginventasasian masalah / pelanggaran

b. Pengidentifikasian masalah / pelanggaran

c. Penganalisaan masalah

d. Pemecahan masalah / pelanggaran

e. Penyusunan laporan pelanggaran kepada pihka yang

berwenang

Seperti yang disebutkan diatas, tentunya masih banyak kemampuan tekhnis yang harus dipunyai penghulu sesuai dengan jenjang Jabatannya.

4. Kemampuan Berinteraksi ( Human Relation )

Sebagai pelayan masyarakat penghulu haruslah mempunyai kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain, baik secara perorangan maupun secara kelompok. Kepedulian penghulu memahami pandangan, fikiran, perasaan dan masukan serta mampu memberikan perhatian kepada orang lain. Disamping itu juga penghulu haruslah mempunyai kemampuan yang efektif dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan segala pihak, baik dengan atasan, teman sejawat sesama penghulu, para ulama, tokoh masyarakat, dengan dinas instansi dan organisasi keagamaan pada tingkat Kecamatan.

5. Kemampuan Berkreasi dan Berinovasi

Yang dimaksud dengan kemampuan berkreasi dan berinovasi bagi penghulu adalah penghulu dituntut untuk menciptakan dan mengembangkan ide-ide baru. Ide baru dan penemuan baru yang bersifat inovatif bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama yang menyangkut dengan kegiatan kepenghuluan.

Produktifitas dan pelayanan kepenghuluan dapat berkembang dengan peluang inovasi dan reformasi. Menurut Ali Muhammad Wahab (2004:6) kemampuan berkreasi dan inovasi diukur dengan : 1) merasakan kesulitan dan mencari peluang untuk perbaikan, 2) mencurahkan pekiran, 3) pembiasaan diri, 4) introspeksi diri.

6. Kemampuan Bersosialisasi

Kemampuan penghulu berhubungan dengan masyarakat sekitarnya merupakan suatu keharusan, karena penghulu aktivitasnya memberikan pelayanan kepada masyarakat. Disamping penghulu sebagai anggota masyarakat, maka penghulu hendaklah : 1) menjaga eksistensi dirinya sebagai public figur, 2) mengabdi untuk kepentingan masyarakat, 3) menumbuh kembangkan sumber daya masyarakat, 4) memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah.

Penutup

Dengan kondisi masyarakat yang semakin kritis dalam menghadapi permasalahan, menuntut pemerintah untuk lebih meningkatkan profesionalisme dalam memberikan pelayanan dalam konsultasi nikah / rujuk. Salah satu upaya untuk itu adalah menyiapkan penghulu-penghulu yang profesional dan mempunyai kinerja pelayanan sesuai dengan yang diharapkan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan penghulu yang memiliki kinerja yang baik serta optimal dalam memberikan pelayanan.

Talak

Diposting oleh M. Aminudin On 21.34 0 komentar

Para misionaris dan orientalis dewasa ini memusatkan serangannya pada dua permasalahan yang berkaitan dengan wanita, yaitu masalah perceraian(talak) dan poligami. Sungguh sangat disayangkan ghazwul fikri yang disebarkan oleh mereka itu sudah mendapat sambutan luas dari kaum muslimin. Sehingga mereka ikut ikutan menganngap kedua masalah tersebut sebagai problematika rumah tangga dan masyarakat. Padahal Islam tidak menyari’atkan kedua masalah tersebut (perceraian dan poligami) kecuali untuk menyelesaikan problematika yang cukup banyak dalam kehidupan lelaki, wanita, rumah tangga dan masyarakat. Dan problem yang sebenarnya adalah terletak pada kesalahfahaman terhadap syari’at Allah atau salah dalam penerapannya maka akan menimbulkan bahaya yang lebih besar.

Mengapa Islam memperbolehkan talak ?

Tidak setiap perceraian itu diperbolehkan dalam Islam, karena ada talak yang dimakruhkan, bahkan diharamkan. Karena hal itu dapat merobohkan bangunan rumah tangga yang sangat ditekankan Islam agar kita membina dan membangunnya.

Oleh karena itu Rasulullah Saw bersabda :
“Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah perceraian”.

Sehingga perceraian yang disyari’atkan oleh Islam itu mirip operasi menyakitkan yang dirasakan oleh seseorang yang menjalani sakitnya. Bahkan terkadang salah satu anggota tubuhnya harus dipotong demi menjaga seluruh anggota tubuhnya yang tersisa, atau karena menghindarkan bahaya yang lebih besar.

Apabila sampai diputuskan untuk bercerai antar dua pasangan dan tidak berhasil segala sarana perbaikan dan upaya mempertemukan kembali diantara kedua belah pihak, maka perceraian dalam keadaan seperti ini merupakan obat yang sangat pahit yang tidak ada obat yang lainnya.

Oleh karena itu dikatakan dalam pepatah “Jika tidak mungkin bertemu, maka ya berpisah”. Al Qur’an Al Karim juga mengatakan :
“Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya” (An-Nisa’:130)

Apa yang telah disyari’atkan oleh Islam, itulah yang sesuai dengan akal, hikmah dan kemaslahatan. Karena termasuk sesuatu yang jauh dari logika akal sehat dan fitrah, jika dipaksakan dengan kekuatan hukum suatu pabrik yang merusak dua penanam saham yang keduanya tidak saling bertemu dan tidak saling mempercayai. Sesungguhnya memaksakan kehidupan ini dengan kekuasaan hukum adalah siksaan yang keras. Manusia tidak tahan, karena itu lebih buruk daripada penjara sepanjang masa. Bahkan menjadi neraka yang tidak kuat menahannya.

Seorang ahli hikmah mengatakan, “Sesungguhnya bahaya yang terbesar adalah mempergauli orang yang tidak menyetujui kamu dan tidak menentang kamu”.

Mempersempit lingkup perceraian

Islam telah meletakkan sejumlah kaidah (prinsip-prinsip) dan ajaran-ajaran yang seandainya manusia mau mengikuti dengan baik dan melaksanakannya, maka sedikit sekali kita akan menyaksikan perceraian dan niscaya semakin mimin perceraian itu. Diantara prinsip-prinsip itu adalah :

* Memilih istri dengan baik dengan cara memusatkan perhatian pada agama dan akhlaq sebelum harta, pangkat(jabatan). dan kecantikan.Rasulullah Saw bersabda :
“Wanita itu dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan karena agama, maka beruntunglah orang yang memperoleh wanita yang kuat agama-nya, maka tanganmu akan penuh debu(rugi) jika tidak kamu ikuti.” (HR. Muttafaqun ‘Alaih)
* Melihat wanita yang dikhitbah sebelum terlaksanannya aqad, agar memperoleh kemantapan dan kepuasan hati. Karena melihat sejak dini itu merupakan langkah menuju kerukunan dan cinta kasih.
* Perhatian wanita dan wali-walinya untuk memilih suami yang mulia (baik) dan mengutamakan yang baik agama dan akhlaqnya, sebagaimana petunjuk dalam Sunnah.
* Disyaratkan pihak wanita menikah dengan calon suami yang ditawarkan kepadanya. Tidak boleh ada pemaksaan untuk menikah dengan orang yang tidak dicintainya.
* Mendapat ridha (memperoleh persetujuan) dari wali wanita, baik yang wajib atau Sunnah.
* Bermusyawarah dengan ibu dari calon pengantin putri, agar pernikahan itu disetujui oleh semua pihak.Karena Rasulullah Saw bersabda :
“Ajaklah para wanita untuk bermusyawarah tentang anak-anak wanitanya”
* Diwajibkannya mempergauli (bergaul) dengan baik dan melaksanakan hak-hak dan kewajiban antara suami istri, serta membangkitkan semangat keimanan untuk berpegang teguh pada ketentuan-ketentuan Allah serta bertaqwa kepada Allah SWT.
* Mendorong suami agar hidup secara realistis, karena tidak mungkin ia menginginkan kesempurnaan mutlak kepada istrinya. Tetapi hendaknya suami melihat yang baik-baik (kebaikan-kebaikan) istri, selain kekurangan-kekurangannya. Jika ia tidak suka kepada suatu sikap tertentu dari isterinya ia juga merasa senang dengan sikap yang lain.
* Mengajak para suami untuk berfikir dengan akal dan kemaslahatan. Jika ia merasa tidak suka terhadap istrinya, maka jangan sampai ia cepat memperturuti perasaanya, dengan mengharap semoga Allah merubah sikapnya dengan yang lebih baik.Allah berfirman:
“Dan pergaulilah mereka (isterimu) dengan baik, kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”. (An-Nisa’:19)
* Memerintahkan kepada suami untuk menghibur dan menasihati isterinya yang sedang nusyuz dengan bijaksana dan bertahap. Dari lemah lembut yang tidak lemah, sampai pada yang keras namun tidak kasar.Allah berfirman :
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka ditempat tidur mereka, dan pukulah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya, sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (An-Nisa’:34)
* Memerintahkan masyarakat untuk ikut meyelesaikan ketika terjadi perselisihan antara suami istri, yaitu dengan membentuk “Majlis keluarga.” Majlis ini terdiri dari orang-orang yang bisa dipercaya dari kelaurga kedua belah pihak, untuk berupaya mengislah dan merukunkan serta memecahkan krisis yang menimpa dengan baik,Allah Swt berfirman:
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan, Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (An-Nisa’:35)

Inilah beberapa ajaran Islam, yang seandainya kaum Muslimin mau mengikutinya dan memeliharanya dengan sungguh-sungguh maka kausu perceraian itu akan berkurang.

Kapan dan Bagaimana Perceraian itu dilakukan ?

Islam tidak menyari’atkan talak(perceraian) pada setiap waktu dan setiap keadaan. Sesungguhnya talak yang diperbolehkan sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah hendaknya seseorang itu pelan-pelan dan memilih waktu yang sesuai.

Maka tidak boleh menceraikan isterinya ketika haid, dan tidak boleh pula dalam keadaan suci sedangkan ia mempergaulinya. Jika ia melakukan hal itu maka talaknya adalah talak yang bid’ah dan diharamkan. Bahkan sebagai fuqaha’ berpendapat talaknya tidak sah, karena dijatuhkan tidak sesuai dengan perintah Nabi Saw.

Rasulullah Saw bersabda:
“Barang siapa yang melakukan perbuatan tanpa dilandasi perintah kami maka itu tertolak (tidak diterima).”

Dan wajib bagi seseorang yang mentalak bahwa dia dalam keadaan sadar. Apabila ia kehilangan kesadaran, terpaksa, atau dalam keadaan marah yang menutup ingatanya sehingga ia berbicara yang tidak ia inginkan, maka menurut pendapat yang shahih itu tidak sah.

Berdasarkan hadits, “Tidak sah talak dalam ketidaksadaran”, Abu dawud menafsirkan hadits ini dengan “marah”, dan yang lain mengartikan karena “terpaksa”. Kedua-duanya benar. Dan hendaklah orang yang mencerai itu bermaksud untuk mencerai dan berpisah dari isterinya. Adapun menjadikan talak itu sebagai sumpah atau sekedar menakut nakuti, maka tidak sah menurut pendapat yang Shahih sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama salaf dan ditarjih oleh Al ‘Allamah Ibnul Qayyim dan gurunya Ibnu Taimayah.

Jika semua bentuk talak ini tidak sah maka tetaplah talak yang diniati dan dimaksudkan yang berdasarkan pemikiran dan yang sudah dipelajari sebelumnya. Dan ia melihat itulah satu-satu jalan penyelesaian untuk keselamatan dari kehidupan yang ia tidak lagi mampu bertahan.

Yang dilakukan Setelah Talak

Perceraian yang terjadi tidak harus memutuskan hubungan suami istri sama sekali, yang kemudian tidak ada jalan menuju perbaikan. Karena talak seperti yang dijelaskan dalam Al Qur’an memberikan bagi setiap orang yang bercerai untuk mengevaluasi dan mempelajari kembali.

Oleh karena itu talak terjadi satu kali satu kali. Apabila kedua kalinya tidak juga bermanfaat maka terjadilah talak ketiga yang memutuskan hubungan selamanya, sehingga tidak halal baginya setelah itu. Maka mengumpulkan tiga talak dalam satu ucapan itu bertentangan dengan syari’at Al Qur’an. Inilah yang dijelaskan dan diambil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu Qayyim dan yang dipakai Mahkamah Syar’iyah di negara-negara arab.

Perceraian tidak mengharamkan bagi wanita untuk memperoleh nafkah selama masa iddah dan tidak boleh bagi suami mengeluarkan istrinya dari rumah. Bahkan wajib atas suami untuk membiarkan sang istri tinggal dirumahnya dekat dengan dia, barangkali dengan begitu kerukunan akan kembali dan hati menjadi jernih.

Allah Swt berfirman :
“Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru”. (At-Thalaq:1)

Perceraian tidak memperbolehkan bagi siapa untuk memakan mahar (maskawin) yang telah diberikan kepada isterinya atau meminta kembali mahar atau segala sesuatu yang telah diberikan kepada isterinya sebelum perceraian.

Allah Swt berfirman :
“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah”. (Al Baqarah:229)

Begitu pula isteri yang ditalak itu berhak memperoleh mut’ah sebagaimana ditetapkan oleh kebiasaan.

Allah Swt berfirman :
“Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertaqwa”. (Al Baqarah:241)

Selain itu tidak halal bagi suami (yang mentalak) bersikap keras terhadap isterinya atau menyebarkan keburukannya atau menyakiti dirinya dan keluarganya.

Allah Swt berfirman :
“Talak (yang dapat dirujuki) itu dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”. (Al Baqarah:229)
“Dan janganlah kamu melupakan keutamaan diantara kamu”. (Al Baqarah:237)

Inilah talak yang diisyari’atkan oleh Islam. Sungguh itu merupakan terapi yang diperlukan pada saat dan alasan yang tepat, dengan tujuan dan cara yang benar.

Alasan Hak Cerai ditangan Lelaki

Mereka bertanya mengapa hak cerai itu ditangan lelaki dan mempermasalahkannya, maka kita jawab, “Sesungguhnya lelaki adalah sebagai kepala rumah tangga, yang bertanggungjawab pertama kali dan yang memikul beban didalam rumah tangganya. Dialah yang harus memberikan mahar dan kewajiban-kewajiban lain setelahnya, sehingga dia dapat membangun rumah tangga diatas tanggungjawabnya. Barangsiapa dapat berbuat demikian maka ia menjadi mulia dan tidak mungkin merusak bangunan rumah tangga kecuali karena ada tujuan-tujuan tertentu, atau karena kebutuhan yang memaksa yang menjadikan ia berkorban dengan menanggung seluruh kerugian karenanya.

Kemudian laki-laki itu pada umumnya lebih mengetahui tentang akibatnya dan lebih banyak bertahan, serta lebih sedikit terpengaruh daripada wanita, sehingga lebih baik jika wewenang itu berada ditangannya.

Sedangkan wanita, ia cepat terpengaruh, mudah emosi dan selalu hangat perasaannya. Kalau seandainya talak itu berada dalam dalam kekuasaanya, pasti akan sering terjadi perceraian dengan alasan-alasan yang ringan dan perselisihan kecil.

Penulis : Dr. Yusuf Qardhawi
Penerbit: Citra Islami Press

sumber: http://dakwah.anekaproduk.com/buletin/tgl03072008.html


Category : | Selengkapnya......

Oleh :Saiful Amien Sholihin

FAKTA dan nalar superioritas laki-laki yang masih dominan selain karena dilingkupi kultur patriarki, juga karena berbagai stereotip yang cenderung menempatkan perempuan di posisi subordinasi dalam khazanah teks keagamaan Islam warisan abad pertengahan, atau yang lazim disebut "kitab kuning" di lingkup pondok pesantren di Indonesia. Salah satu nalar subordinasi itu bisa dilihat dari nalar dominan penafsiran kasus talak tiga (thalaq ba’in), perceraian yang tidak bisa dirujuki.

Pembahasan tentang bias jender kasus talak tiga bisa dimulai dari pembahasan tentang susunan gramatika bahasa Arab. Ketimpangan relasi laki-laki dan perempuan dalam khazanah Islam yang dipegang kuat oleh kalangan pemegang pemahaman berdasarkan teks salah satunya disebabkan susunan tata bahasa Arab secara jelas memperlihatkan "bias" jender, baik di kalimat isim (kata benda), kalimat fi’il (kata kerja), maupun shifat (sifat).

Dalam pandangan Islam, talak merupakan perbuatan yang boleh dilakukan, tetapi sangat dibenci Tuhan. Ini dibolehkan tentunya jika ikatan pernikahan sudah tidak mungkin dipertahankan. Beberapa ayat Al Quran yang bisa dijadikan dasar talak atau perceraian antara lain QS: 2 Ayat 229-231. Adapun ayat yang dijadikan pegangan hingga mengakibatkan bias jender perceraian adalah QS: 2 Ayat 230.

Ayat tersebut diartikan tim penerjemah Al Quran Departemen Agama (1990): "kemudian jika suami menalak istrinya (yang ketiga kalinya, penafsir), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian, jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah yang diterangkan kepada kaum (yang) mau mengetahui".

Ayat di atas hingga kini dijadikan pegangan bagi mayoritas umat Islam di seluruh dunia. Persoalan muncul manakala suami dan istri tadi masih saling mencintai, tetapi tidak bisa rujuk kembali tanpa didahului pernikahan istrinya dengan laki-laki lain. Atau jika pernikahan perempuan dengan laki-laki kedua ternyata tidak mendatangkan berkah, melainkan musibah, maka perempuan lagi-lagi menjadi korban.

Dalam Kitab Bulugh al-Maram (1982: 312) karya Ibnu Hajar al-Asqalani dijelaskan, istilah talak berarti melepaskan ikatan, terlepas dari perjanjian. Istilah ini merupakan bentuk turunan dari kata ithlaq yang berarti mengusir atau melepaskan ikatan. Dengan demikian, talak berarti melepaskan ikatan pernikahan dan menjadi bebas.

Dalam kasus talak (dan tentunya juga kasus rujuk), anggapan dominan adalah laki-laki mempunyai hak memutuskan talak dan mempunyai hak rujuk, sedangkan perempuan hanya menjadi obyek, yang setiap saat bisa ditalak atau dirujuk suami tanpa punya hak menolak permintaan talak atau hak meminta rujuk. Bahkan, dalam kasus talak tiga, jika ingin rujuk, perempuan harus menikah dan berhubungan badan dengan laki-laki lain sebelum kembali bersama dengan suami pertamanya.

Syarat itu di antaranya bisa dilihat dalam Kitab Fath al-Qarib al-Mujib (1986) karya Syaikh Muhammad bin Qasim yang lazim digunakan di dunia pesantren, dan Kitab Fath al-Mu’iin karya Syaikh Zainuddin Abdul Aziz al-Malibary (1986). Hal ini juga bisa dilihat di kitab kumpulan hadis Shahih Bukhary (1980) karya Imam Bukhary (jilid III, hal: 134). Di situ dijelaskan, saat Rasulullah Muhammad ditanya tentang hukum perempuan yang sudah diceraikan suami pertama, kemudian menikah dengan laki-laki lain lalu cerai dan ingin rujuk ke suami pertama, Rasulullah mengatakan tidak boleh rujuk kecuali sudah berhubungan badan dengan suaminya yang kedua.

Upaya pembongkaran

Para ahli hukum Islam berbeda pendapat soal talak tiga atau talak yang tidak bisa dirujuk. Perbedaan ini terkait dengan dua persoalan mendasar. Pertama, mengenai keabsahan dan argumentasi keberadaan talak tiga. Kedua, waktu talak, yaitu apakah talak tiga bisa dijatuhkan dalam satu kesempatan atau tidak.

Untuk yang pertama, Imam Abu Hanifah dan Imam Malik menyebut sebagai talak yang tak pernah diajarkan Rasulullah. Imam Ahmad bin Hanbal setuju dengan pendapat ini. Imam Syafii menilai bentuk talak tiga diperbolehkan dan merupakan hak suami.

Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, seperti dikutip Asghar Ali Engineer dalam The Rights of Women in Islam (1992, hal 175), menggunakan masa kepemimpinan Rasulullah, Abu Bakar, dan dua tahun kepemimpinan Umar yang melarang talak tiga sekaligus sebagai dasar pertimbangan hukum. Adapun Imam Syafii memakai keputusan Umar bin Khattab yang membolehkan talak tiga karena alasan sosio-antropologis saat itu sebagai dasar.

Untuk yang kedua, terjadi perbedaan di antara Imam Abu Hanifah dan Imam Malik dengan Imam Ahmad bin Hanbal. Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat, talak satu terjadi jika diucapkan talak tiga sekaligus. Dengan kata lain, keduanya menyepakati adanya talak tiga. Hanya masalah waktu saja yang berbeda. Begitu pula Imam Syafii yang menganggapnya sebagai suatu yang dibolehkan.

Namun, Imam Ahmad bin Hanbal menolak pendapat ketiga imam di atas. Menurut dia, tidak ada tempat bagi talak tiga dalam Al Quran, yang hanya mengizinkan thalaq raj’i, talak yang bisa dirujuki. Karena itu, jika ada seseorang mengaku telah menjatuhkan keputusan talak tiga kepada istrinya, Imam Hanbal meminta agar talak itu diperlakukan selayaknya talak satu sehingga pasangan suami-istri punya hak untuk kembali melangsungkan pernikahan tanpa ada ketakutan melanggar ketentuan Tuhan. Pendapat sejenis bisa dilihat di Kitab Fatawa Ibnu Taimiyyah (1991, jilid III, hal 22).

Mengenai dasar pertimbangan Imam Syafii memakai keputusan Umar bin Khattab yang membolehkan talak tiga di akhir masa jabatannya, Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Kitab Bulugh al-Maram (1982, hal 314) menjelaskan, latar historisitas pembolehan talak tiga karena kebanyakan umat Islam saat itu tidak sabar untuk menahan diri melakukan talak atau perceraian. Boleh dibilang, Imam Syafii waktu itu menggunakan rumusan "penetapan suatu hukum bisa berubah sebab perbedaan waktu dan tempat".

Tentang kebijakan Umar bin Khattab membolehkan talak tiga, Umar Ahmad Utsmani dalam Fiqh Alquran (1980, jilid II, hal: 237-9) menjelaskan, seusai melakukan penaklukan Siria, Mesir, dan tempat lain, kebanyakan tawanan adalah perempuan cantik sehingga membuat orang Arab berkehendak menikahi mereka. Mereka tersebut tidak mau dimadu sehingga mensyaratkan laki-laki menceraikan istrinya terdahulu tiga kali sekaligus agar tidak dapat dirujuki.

Orang Arab akhirnya menuruti kemauan tadi, tetapi mereka ternyata juga merujuki istri yang terdahulu sehingga menimbulkan banyak perselisihan. Hal ini dikarenakan pemahaman yang sempit terhadap QS: 2 Ayat 230. Untuk mengatasi kesulitan ini, Umar bin Khattab memberlakukan kebijakan talak tiga sekaligus sebagai talak yang tidak bisa dirujuki. Sejak itu, kenyataan ini diyakini menjadi bagian integral dari syariat Islam.

Ahmad Utsmani menjelaskan, seseorang hanya dapat menjatuhkan talak satu dalam satu waktu. Dengan memaknai QS: 2 Ayat 229 berbunyi "al-thalaqu marratain..." (talak dapat dinyatakan dua kali...), ia berpendapat antara talak yang pertama dan yang kedua harus ada tenggang waktu. Talak atau perceraian dinilainya bisa dilakukan satu kali pada satu waktu dan di waktu yang lain. Setelah itu, perempuan bisa menikah dengan laki-laki lain atau kembali ke suaminya, setelah masa idah tiga bulan telah habis. Ia mengatakan, sekali talak dikatakan, perceraian terjadi. Karena itu, tidak perlu diulangi sampai tiga kali dalam tiga bulan, di setiap akhir masa menstruasi istrinya (hal 220-221).

Dengan demikian, keputusan Umar bin Khattab di atas lebih bersifat keputusan politis, yaitu untuk memenuhi keadaan situasi tertentu, dan bukan murni ajaran Tuhan yang dilewatkan Rasulullah Muhammad. Sangat disayangkan sekali jika sampai hari ini ternyata tafsir talak tiga masih berkembang pesat dan menjadi tafsir dominan oleh karena didikte tradisi lama, atau dipengaruhi struktur patriarki, atau pertimbangan "politis" sesaat.

Jika dominasi nalar superioritas laki-laki yang didukung teks klasik mengharuskan perempuan rela dinikahi laki-laki lain untuk bisa kembali ke suaminya yang pertama, bukankah lagi-lagi perempuan menjadi obyek superioritas laki-laki? Inilah yang menjadi agenda pembaruan hukum, terutama bagi kalangan pesantren yang memahami dan menguasai khazanah intelektual abad pertengahan.

Saiful Amien Sholihin Direktur PKASPĆ© (Pusat Kajian, Agama, Sosial, dan Pluralisme). Pegiat jaringan Kaum Muda Nahdlatul Ulama (KMNU) Jawa Timur.

Struktur

Diposting oleh M. Aminudin On 06.47 2 komentar

DAFTAR PEGAWAI KUA ARAHAN

KEPALA KUA


Drs. Hasbullah
NIP. 19690814 199303 1 005


STAFF



Muhammad Aminudin, S.HI
NIP.19800506 200501 1 002



Nur Hasyim
NIP.19800506 200501 1 002



Darmawan Sugiharto
NIP.19800506 200501 1 002