blog pernikahan

Kua online

MUDZAKAROH

JADWAL SHOLAT

New Comment

Kandepag Indramayu Adakan Workshop PPAIW

Diposting oleh M. Aminudin On 21.53 0 komentar

Sumber : Media Pembinaan
Penyelenggara Zakat dan Wakaf Departemen Agama Kabupaten Indramayu pada tanggal 12 Februari 2009 bertempat di Aula Kantor Departemen Agama Kabupaten Indramayu mengadakan sosialisasi tentang betapa pentingnya peranan PPAIW dalam menyelenggarakan Tupoksi Departemen Agama khususnya di bidang pelayanan tanah wakaf.

Hadir pada acara itu kepala KUA se-Kab. Indramayu selaku Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf beserta pelaksananya, dengan pemateri adalah H. Tulus Susilo, SH dari Kantor Pertanahan Kabupaten Indramayu, berlangsung dengan penuh antusias dan penuh seksama mendengarkan materi-materi yang diberikan.
H. Tulus dalam materinya menyampaikan bahwa produk BPN adalah produk hukum, setiap ada perubahan tentang status hukum tanah harus disampaikan ke BPN untuk diproses lebih lanjut. "...Sistem dan alur produk wakaf berawal dari pehjelasan status tanah yang dimiliki oleh perorangan maupun lembaga, kemudian terjadi peristiwa hukum yaitu waris dan kemudian muncullah perbuatan berupa ikrar wakaf ", tandasnya lagi.
Sementara itu dalam kesempatan yang sama Kepala Sub Bagian Tata Usaha Kandepag Kab. Indramayu Drs. H. Moh Ichsan yang didampingi oleh penyelenggara Zakat dan Wakaf H. Rakhmat, SH, MH dalam sambutannya mengetakan bahwa peranan PPAIW dalam penertiban status tanah wakaf sangat vital sebab PPAIW adalah wakil dari Departemen Agama yang langsung berhubungan dengan masyarakat luas. Urgensi Wakaf juga tidak bisa dikesampingkan begitu saja, maka dari itu Departemen Agama Kabupaten Indramayu berinisiatif untuk mengadakan workshop tentang penyelenggaraan wakaf ini.

Category : | Selengkapnya......

Pentingnya Pencatatan Perkawinan

Diposting oleh M. Aminudin On 21.33 0 komentar

1. DASAR HUKUM PENCATATAN PERKAWINAN

Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku (pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974). Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedang bagi yang beragama Katholik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS).

2. PENCATATAN BAGI PENGANUT KEPERCAYAAN

Sampai saat ini belum ada kebijakan yang jelas tentang pencatatan perkawinan bagi penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Namun Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN) dalam putusannya nomor 024/G.TUN/1997. PTUN Jkt, menyatakan bahwa KCS tidak berwenang menolak pencatatan penganut kepercayaan. Sampai saat ini ternyata KCS tidak mau melaksanakan putusan-putusan tersebut dan KCS menyatakan tunduk pada keputusan Menteri Dalam Negeri yang pada pokoknya melarang KCS mencatat perkawinan penganut kepercayaan.

Perbuatan KCS ini jelas bertentangan dengan keputusan-keputusan yang telah ada dan bertentangan pula dengan pasal 16 ayat 2 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang telah diratifikasi dengan UU No. 7 tahun 1984 yang intinya menyatakan kewajiban bagi negara peserta, termasuk Indonesia, menetapkan usia minimum untuk kawin dan untuk mewajibkan pendaftaran perkawinan di Kantor Catatan Sipil yang resmi.

3. AKIBAT HUKUM TIDAK DICATATNYA PERKAWINAN

a. Perkawinan Dianggap tidak Sah

Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara perkawinan Anda dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil.

b. Anak Hanya Mempunyai Hubungan Perdata dengan Ibu dan Keluarga Ibu

Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu (Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Perkawinan). Sedang hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada.

c. Anak dan Ibunya tidak Berhak atas Nafkah dan Warisan

Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya. Namun demikian, Mahkamah Agung RI dalam perkara Nugraha Besoes melawan Desrina dan putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam perkara Heria Mulyani dan Robby Kusuma Harta, saat itu mengabulkan gugatan nafkah bagi anak hasil hubungan kedua pasangan tersebut.

4. SAHNYA PERKAWINAN

Sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan). Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) atau pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya (bagi yang non muslim), maka perkawinan tersebut adalah sah, terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat.

Karena sudah dianggap sah, akibatnya banyak perkawinan yang tidak dicatatkan. Bisa dengan alasan biaya yang mahal, prosedur berbelit-belit atau untuk menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman adiministrasi dari atasan, terutama untuk perkawinan kedua dan seterusnya (bagi pegawai negeri dan ABRI). Perkawinan tak dicatatkan ini dikenal dengan istilah Perkawinan Bawah Tangan (Nikah Syiri’).

5. PENGESAHAN PERKAWINAN

Bagi ummat Islam, tersedia prosedur hukum untuk mengesahkan perkawinan yang belum tercatat tersebut, yaitu dengan pengajuan Itsbat Nikah. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 7 ayat 2 dan 3 dinyatakan, bahwa dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.

Namun sayangnya, salah satu syarat dalam pengajuan permohonan itsbat nikah adalah harus diikuti dengan gugatan perceraian. Dan syarat lainnya adalah jika perkawinan itu dilaksanakan sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974. Ini berarti bahwa perkawinan yang dilaksanakan setelah berlakunya UU tersebut mau tidak mau harus disertai dengan gugatan perceraian.

Tentu ini sangat sulit bagi pasangan yang tidak menginginkan perceraian. Selain itu proses yang akan dijalanipun akan memakan waktu yang lama.

6. CATATKAN PERKAWINAN ANDA

Pencatatan perkawinan amatlah penting, terutama untuk mendapatkan hak-hak Anda, seperti warisan dan nafkah bagi anak-anak Anda. Jadi sebaiknya, sebelum Anda memutuskan menjalani sebuah perkawinan di bawah tangan (nikah syiri’), pikirkanlah terlebih dahulu. Jika masih ada kesempatan untuk menjalani perkawinan secara resmi, artinya perkawinan menurut negara yang dicatatkan di KUA atau KCS, pilihan ini jauh lebih baik. Karena jika tidak, ini akan membuat Anda kesulitan ketika menuntut hak-hak Anda



Pendaftaran Haji

Diposting oleh M. Aminudin On 08.56 0 komentar

Prosedur Pendaftaran Haji

  • Pendaftaran haji dilaksanakan di Kandep. Agama Kabupaten/Kota (PMA No. 15 Tahun 2006 Pasal 3 Ayat 1 )
  • Pendaftaran tidak bisa diwakilkan atau dikuasakan, tapi harus datang sendiri dan tidak boleh kolektif.
  • Persyaratan Pendaftaran :
  1. Foto copy Tabungan Haji saldo minimal Rp. 20.000.000,- dan buku tabungan asli diperlihatkan
  2. Foto Copy KTP ( bukan KTP sementara ) 14 lembar dan asli diperlihatkan.
  3. Foto Copy Kartu Keluarga ( KK ) 2 Lembar dan asli diperlihatkan.
  4. Pas Foto sesuai kebutuhan.
  5. Surat Keterangan Sehat dari puskesmas Kecamatan setempat, mencantumkan Golongan darah, tinggi dan berat badan.
  6. Surat pernyataan Kuwu / Lurah yang diketahui oleh camat setempat diatas materai Rp. 6.000,- ( terlampir ).
  7. Usia minimal 18 tahun kecuali sudah menikah dibuktikan dengan surat nikah.

Category : | Selengkapnya......

Dalam Proses

Diposting oleh M. Aminudin On 21.30 0 komentar



Maaf halaman ini masih dalam proses

Category :

Tamu Kami

Diposting oleh M. Aminudin On 10.10

Category :

Sepuluh Wasiat Untuk Istri

Diposting oleh M. Aminudin On 21.08 0 komentar

Istri memegang peranan yang sangat penting dalam istana keluarganya. Maka ia dituntut untuk memahami peranan tersebut lalu mengaplikasikannya dalam kehidupan berkeluarga. Berikut ada beberapa wasiat untuk mereka yang berhasrat menjadi istri yang mendambakan keluarga bahagia. Semoga bisa bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Istri memegang peranan yang sangat penting dalam istana keluarganya. Maka ia dituntut untuk memahami peranan tersebut lalu mengaplikasikannya dalam kehidupan berkeluarga. Berikut ada beberapa wasiat untuk mereka yang berhasrat menjadi istri yang mendambakan keluarga bahagia. Semoga bisa bermanfaat bagi kita semua. Amin.
1.Takwa kepada Allah dan menjauhi maksiat
Bila engkau ingin kesengsaraan bersarang di rumahmu dan bertunas, maka bermaksiatlah kepada Allah. Sesungguhnya kemaksiatan menghancurkan negeri dan menggoncang kerajaan. Oleh karena itu jangan engkau goncangkan rumahmu dengan berbuat maksiat kepada Allah.
Wahai hamba Allah……..jagalah Allah maka Dia akan menjagamu beserta keluarga dan rumahmu. Sesungguhnya ketaatan akan mengumpulkan hati dan mempersatukannya, sedangkan kemaksiatan akan mengoyak hati dan menceraiberaikan keutuhannya.
Karena itulah, salah seorang wanita shalihah jika mendapatkan sikap keras dan berpaling dari suaminya, ia berkata:”Aku mohon ampun kepada Allah….itu terjadi karena perbuatan tanganku (kesalahanku)….”Maka hati-hatilah wahai saudariku muslimah dari berbuat maksiat, khususnya:
-Meninggalkan shalat atau mengakhirkannya atau menunaikannya dengan cara yang tidak benar.
-Duduk di majlis ghibah dan namimah, berbuat riya dan sum’ah.
-Menjelekkan dan mengejek orang lain. Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang briman janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang menolok-olokkan) dan janganlah wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan”(QS. Al Hujurat: 11).
-Keluar menuju pasar tanpa kepentingan yang sangat mendesak dan tanpa didampingi mahram. Rasulullah bersabda:”Negeri yang paling dicintai Allah adalah masjid-masjidnya dan negeri yang paling dibenci Allah adalah pasar-pasarnya”(HR. Muslim).
-Mendidik anak dengan pendidikan barat atau menyerahkan pendidikan anak kepada para pambantu dan pendidik-pendidik yang kafir.
-Meniru wanita-wanita kafir. Rasulullah bersabda:”Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka”(HR. Imam Ahmad dan Abu Daud serta dishahihkan Al-Albany).
-Membiarkan suami dalam kemaksiatannya.
-Tabarruj (pamer kecantikan) dan sufur (membuka wajah).
-Membiarkan sopir dan pembantu masuk ke dalam rumah tanpa kepentingan yang mendesak.
2.Berupaya mengenal dan memahami suami
Hendaknya engkau berupaya memahami suamimu. Apa –apa yang ia sukai, berusahalah memenuhinya dan apa-apa yang ia benci, berupayalah untuk menjauhinya dengan catatan selama tidak dalam perkara maksiat kepada Allah karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khalik (Allah ‘Azza Wajalla).
3. Ketaatan yang nyata kepada suami dan bergaul dengan baik.
Sesungguhnya hak suami atas istrinya itu besar. Rasulullah bersabda:”Seandainya aku boleh memerintahkanku seseorang sujud kepada orang lain niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya”(HR. Imam Ahmad dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Albany).
Hak suami yang pertama adalah ditaati dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah dan baik dalam bergaul dengannya serta tidak mendurhakainya. Rasulullah bersabda:”Dua golongan yang shalatnya tidak akan melewati kepalanya, yaitu budak yang lari dari tuannya hingga ia kembali dan istri yang durhaka kepada suaminya hingga ia kembali”(HR. Thabrani dan Hakim, dishahihkan oleh Al-Albany).
Ketahuilah, engkau termasuk penduduk surga dengan izin Allah, jika engkau bertakwa kepada Allah dan taat kepada suamimu. Dengan ketaatanmu pada suami dan baiknya pergaulanmu terhadapnya, engkau akan menjdai sebaik-baik wanita (dengan izin Allah).
4.Bersikap qanaah (merasa cukup)
Kami meninginkan wanita muslimah ridha dengan apa yang diberikan untuknya baik itu sedikit ataupun banyak.
Maka janganlah ia menuntut di luar kesanggupan suaminya atau meminta sesuatu yang tidak perlu. Renungkanlah wahai saudariku muslimah, adabnya wanita salaf radhiallahu ‘anhunna…Salah seorang dari mereka bila suaminya hendak keluar rumah ia mewasiatkan satu wasiat kepadanya. Apakah itu??? Ia berkata pada suaminya:”Hati-hatilah engkau wahai suamiku dari penghasilan yang haram, karena kami bisa bersabar dari rasa lapar namun kami tidak bisa bersabar dari api neraka…”
5. Baik dalam mengatur urusan rumah tangga, seperti mendidik anak-anak dan tidak menyerahkannya pada pembantu, menjaga kebersihan rumah dan menatanya dengan baik dan menyiapkan makan pada waktunya.
Termasuk pengaturan yang baik adalah istri membelanjakan harta suaminya pada tempatnya (dengan baik), maka ia tidak berlebih-lebihan dalam perhiasan dan alat-alat kecantikan.
6.Baik dalam bergaul dengan keluarga suami dan kerabat-kerabatnya, khususnya dengan ibu suami sebagai orang yang paling dekat dengannya.
Wajib bagimu untuk menampakkan kecintaan kepadanya, bersikap lembut, menunjukkan rasa hormat, bersabar atas kekeliruannya dan engkau melaksanakan semua perintahnya selama tidak bermaksiat kepada Allah semampumu.
7.Menyertai suami dalam perasaannya dan turut merasakan duka cita dan kesedihannya.
Jika engkau ingin hidup dalam hati suamimu, maka sertailah ia dalam duka cita dan kesedihannya. Renungkanlah wahai saudariku kedudukan Ummul Mukminin, Khadijah radhiallahu ‘anha, dalam hati Rasulullah walaupun ia telah meninggal dunia.. Kecintaan beliau kepada Khadijah tetap bersemi sepanjang hidup beliau, kenangan bersama Khadijah tidak terkikis oleh panjangnya masa. Bahkan terus mengenangnya dan bertutur tentang andilnya dalam ujian, kesulitan dan musibah yang dihadapi. Seorangpun tidak akan lupa perkataannya yang masyur sehingga menjadikan Rasulullah merasakan ketenangan setelah terguncang dan merasa bahagia setelah bersedih hati ketika turun wahyu pada kali pertama:” Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selamanya. Karena sungguh engkau menyambung silaturahmi, menaggung orang lemah, menutup kebutuhan orang yang tidak punya dan engkau menolong setiap upaya menegakkan kebenaran”.(HR. Mutafaq alaihi, Bukhary dan Muslim).
8.Bersyukur (berterima kasih) kepada suami atas kebaikannya dan tidak melupakan keutamaannya.
Wahai istri yang mulia! Rasa terima kasih pada suami dapat kau tunjukkan dengan senyuman manis di wajahmu yang menimbulkan kesan di hatinya, hingga terasa ringan baginya kesulitan yang dijumpai dalam pekerjaannya. Atau engkau ungkapkan dengan kata-kata cinta yang memikat yang dapat menyegarkan kembali cintamu di hatinya. Atau memaafkan kesalahan dan kekurangannya dalam menunaikan hak-hakmu dengan membandingkan lautan keutamaan dan kebaikannya kepadamu.
9.Menyimpan rahasia suami dan menutupi kekurangannya (aibnya).
Istri adalah tempat rahasia suami dan orang yang paling dekat dengannya serta paling tahu kekhususannya. Bila menyebarkan rahasia merupakan sifat yang tercela untuk dilakukan oleh siapapun, maka dari sisi istri lebih besar dan lebih jelek lagi. Saudariku, simpanlah rahasia-rahasia suamimu, tutuplah aibnya dan jangan engkau tampakkan kecuali karena maslahat yang syar’I seperti mengadukan perbuatan dhalim kepada Hakim atau Mufti atau orang yang engkau harapkan nasehatnya.
10.Kecerdasan dan kecerdikan serta berhati-hati dari kesalahan.
Termasuk kesalahan adalah: Seorang istri menceritakan dan menggambarkan kecantikan sebagian wanita yang dikenalnya kepada suaminya. Padahal Rasulullah telah melarang hal itu dalam sabdanya:”Janganlah seorang wanita bergaul dengan wanita lain lalu mensifatkan wanita itu kepada suaminya sehingga seakan-akan suaminya melihatnya”(HR. Bukhary dalam An-Nikah).
“Untuk para istri yang berhasrat menjadi penyejuk hati dan mata suaminya. Semoga Allah memeliharamu dalam naungan kasih sayang dan rahmatNya. Amin.”

Mewujudkan Rahmah dalam Rumah Tangga

Diposting oleh M. Aminudin On 20.41 0 komentar

Perkawinan yang langgeng ada dua macam, Pertama; disebabkan salah seoarng pasangan (baik suami maupun isteri) hanya jadi penurut dan patuh apapun yang diinginkan pasangannya, walaupun hati kecilnya berontak. Perkawinan seperti itu boleh jadi dapat memenuhi kebutuhan biologis mereka. Orang luar menilainya sukses dan menganggapnya bahagia. Tapi hakikatnya yang demikian itu merupakan kesuksesan dan kebahagian semu karena ada pihak yang tertekan dalam mahligai rumah tangga

Kedua, adalah perkawinan yang menghasilkan kebahagiaan sejati. Kebahagiaan bersama, karena masing-masing pasangan baik suami maupun isteri memiliki ketulusan untuk saling memberi dan saling memahami kelebihan dan kekurangan serta kondisi masing-masing, baik secara fisik maupun nonfisik. Barangkali ada salah seorang dari anda yang merasa kurang berkenan dengan keinginan, ucapan, atau tindakan pasangan, maka janganlah hal itu disimpan dalam hati, melainkan haruslah disampaikan dengan cara yang baik. Yang perlu disadari bahwa menerima atau menolak kehendak pasangan bukan berarti menjatuhkan martabat dan kehormatan, bukan pula bertanda lunturnya kasih dan cinta. Karena untuk mencapai kelanggengan diperlukan kedewasaan dan kematangan berpikir, yang mengantarkan masing-masing pihak menyadari bahwa hidup bersama dalam keadaan bagaimanapun lebih baik dan lebih nikmat daripada hidup sendiri-sendiri secara terpisah.

Beberapa hal yang harus diantisipasi bahwa dalam bahtera rumah tangga, tidak senantiasa dalam keberuntungan. Kegembiraan dan kesedihan, keuntungan dan kerugian, sukacita dan dukacita, adalah romantika yang dialami semua orang. Dalam suasana seperti ini, kiranya penting bagi anda untuk saling menghibur, saling membesarkan hati satu sama lain. Selain itu dalam bahtera rmah tangga juga adakalanya muncul ancaman rutinitas yang dapat melahirkan kebosanan dan kejemuan serta angan-angan yang diakibatkan oleh imajinasi bahwa kepunyaan orang lain lebih gagah atau lebih cantik dari pada yang sedang dimiliki. Seperti kata pepatah, rumput dihalaman orang lain senantiasa tampak lebih hijau. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti itu, ada resep yang ditawarkan Al-Qur’an dalam surat Ar-Rum ayat 21:

“Diantara tanda-tanda (kekuasaan dan kebesaranNya) adalah bahwa Dia menciptakan untuk kamu sekalian pasangan-pasangan dari jenis kamu sendiri agar kamu merasa tenteram, damai, dan bahagia kepadanya. Dan dijadikan diantara kamu mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi orang-orang yang berpikir”.

Sebelum anda berdua bersepakat utnuk menikah, tentu masing-masing sudah mencintai satu sama lain. Dalam bahasa Arab, cinta adalah mahabbah, yakni rasa menintai lawan jenis karena daya tarik fisik. Mahabbah merupakan gerbang menuju pernikahan. Setelah pernikahan dilangsungkan, mahabbah diwujudkan menjadi Mawaddah, yaitu hal-hal yang dapat membangkitkan kemauan dan menimbulkan kehendak untuk memadu kasih, mengundang rayu yang akhirnya memadukan hati dan jiwa. Dengan pernikahan pula, Mawaddah, harus dikembangkan menjadi rahmah, yakni rasa saling menyantuni antara suami isteri lantaran jalinan sayang, bukan lantaran daya tarik fisik sebagaimana yang terjadi dalam mahabbah. Dalam rahmah terdapat ikatan lahir batin, tanggung jawab, belaian kasih, dan ikrar untuk ikut bersama dalam pernikahan adalah pangkal tolaknya. Jika suatu pernikahan hanya didasarkan pada mahabbah, kefanaanlah yang akan didapat, karena bentuk rupa akan termakan usia. Pernikahan yang didasarkan pada mawaddah juga akan fana. Karena kebutuhan biologis akan menurun manakala usia memasuki senja. Maka mahabbah dan mawaddah harus diikat dengan rahmah yang tidak mengenal ruang dan waktu, kapanpun dimanapun. Dalam diri pasangan yang diikat oleh rahmah akan beroleh kesempurnaan mahabbah dan mawaddah hingga hari tua akan menjadi penyejuk dikala panas, menjadi senandung pada masa-masa sunyi dan bahkan pada sat ajal tiba. Karena rahmah menjangkau jauh melampaui libido dan insting seksual semata-mata.

Selanjutnya dalam surat At-Taubah ayat 71 Allah berfirman:

“Bahwa orang mukmin laki-laki dan perempuan sebagian mereka menjadi penolong sebagian yang lain”.

Artinya, antara pria (suami) dan wanita (istri) mempuni tugas saling membantu dan saling melengkapi. Jika suami bekerja mencari nafkah di luar rumah, sementara istri berkonsenytrasi mengurus rumah dan pendidikan anak-anak, maka hal ,itu merupakan salah satu bentk dari saling membantu dan saling melengkapi untuk satu tugas yang harus diemban bersama.

Bantu membantu dan saling melengkapi juga menngandung arti saling memperhatikan, dalam arti suami memperhatikan istrinya dan sebaliknya istripun memperhatikan suaminya sehingga terjalin kwerjasama dalam mencvapai hasil terbaik dalam rumah tangga. Oleh karena itu, dalam satu rumah tangga berlaku pepatah ringan sama dijinjing berat sama dipikul, artinya jangan sampai ada diantara salah satunya merasa menanggung beban lebih berat dari yang lain.

Terakhir saya ingin sampaikan bahwa akad nikah dalam pross pernikahan adalah suatu perjanjian suci antara dua insan yang diikat dengan amanah dan kalimat Allah, Rasulullah Saw. bersabda:

“Saling berwasiatlah tentang istri untuk berbuat baik. Sesungguhnya kalian menerimanya atas dasar amanat Allah dan menjadi halal hungan intim dengannya atas dasar kalimat Allah”.

Serah terima pernikahan dilakukan dengan kalimat Allah, agar disadari sepenuhnya betapa sucinya perjanjian dan ikatan yang terjalin diantara anda berdua. Dengan dua kalimat sederhaa yatiu, ijab dan qabul, terjadilah perubahan besar dalam kehidupan anda berdua yang haram menjadi halal, yang maksiat menjadi ibadah, kewajiban menjadi kesuciuan dan kebebasan menjadi tanggung jawab serta nafsupun berubah menjadi kasih sayang. Perubahan besar itu terjadi, sekali lagi, hanya karena amanat Allah. Inilah yang harus diingat oleh anda berdua sepanjang hayat. Dengan menjaga amanat pernikahan, niscaya anda berdua akan berolah kebahagiaan kini dan nanti (dunia dan akhirat). Amin ya Rabbal’alamin

Beberapa Akhlah di Rumah

Diposting oleh M. Aminudin On 20.23 0 komentar

Dari Aisyah radhiyallah 'anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Jika Allah 'Azza Wa Jalla menghendaki kebaikan kepada suatu keluarga maka Ia menganugerahkan atas mereka pergaulan yang baik".
Dalam riwayat lain disebutkan
"Sesungguhnya Allah jika mencintai suatu keluarga maka Ia anugerahkan atas mereka pergaulan yang baik".

Artinya masing-masing mempergauli yang lain dengan baik. Inilah salah satu sebab kebahagiaan di rumah. Pergaulan yang baik dan keramah-tamahan adalah sangat bermanfaat antara kedua suami isteri, juga dengan anak-anak, yang daripadanya akan melahirkan hasil yang tak mungkin dihasilkan oleh kekerasan. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

"Sesungguhnya Allah mencintai pergaulan yang baik (keramahan), dan Ia memberikan kepada pergaulan yang baik (keramahan) apa yang tidak diberikanNya kepada kekerasan dan apa yang tidak diberikan kepada selainnya".

Banyak lelaki yang enggan melakukan pekerjaan rumah, sebagian mereka berkeyakinan bahwa di antara yang menyebabkan berkurangnya kedudukan dan wibawa laki-laki yaitu ikut bersama anggota keluarga yang lain melakukan pekerjaan mereka.

Adapun Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam beliau menjahit sendiri bajunya, menambal sandalnya dan melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh laki-laki di dalam rumah mereka.

Demikian dikatakan oleh isteri beliau Aisyah radhiyallah 'anha ketika ia ditanya apa yang dikerjakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam rumahnya. Aisyah radhiyallah 'anhu menjawab dengan apa yang dilihatnya sendiri. Dalam riwayat lain disebutkan:

"Ia adalah manusia di antara sekalian manusia, membersihkan bajunya, memerah susu kambingnya dan melayani dirinya".

Aisyah radhiyallah 'anhu juga ditanya apa yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam rumahnya. Ia berkata:

"Ia ada (bersama) pekerjaan keluarganya -maksudnya membantu keluarganya- dan apabila datang (waktu) shalat ia keluar untuk shalat".

Jika hal itu kita praktekkan sekarang, berarti kita telah mewujudkan beberapa kemaslahatan:

1. Meneladani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam .

2. Kita ikut membantu keluarga.

3. Kita merasa rendah hati dan tidak takabbur (sombong).

Sebagian suami meminta kepada isterinya agar menghidangkan makanan dengan segera, sementara periuk masih di atas tungku api, anak kecilnya berteriak ingin disusui, ia tidak menyentuh anak tersebut, juga tidak mau sabar sedikit menunggu makanan. Hendaknya beberapa hadits di atas menjadi pelajaran dan peringatan.

Bersikap lembut kepada isteri dan anak-anak merupakan salah satu faktor yang bisa menebarkan iklim kebahagiaan dan eratnya hubungan baik di tengah keluarga. Karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menasehati Jabir agar menikahi wanita yang masih perawan. Beliau mengatakan:

"Kenapa (tidak engkau pilih) perawan (sehingga) engkau bisa mencandainya dan dia mencandaimu, dan engkau (bisa) membuatnya tertawa dan dia membuatmu tertawa".

"Segala sesuatu yang di dalamnya tidak ada dzikrullah adalah sia-sia belaka, kecuali empat perkara: percandaan laki-laki terhadap isterinya...".

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mencandai Aisyah radhiyallah 'anha ketika beliau mandi bersamanya. Aisyah berkisah:

"Aku dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mandi bersama dari satu gayung untuk berdua (secara bergantian), lalu beliau mendahuluiku sehingga aku katakan "biarkan untukku, biarkan untukku", ia berkata : sedang keduanya berada dalam keadaan junub".

Adapun canda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada anak-anak kecil maka sangat banyak untuk disebutkan. Beliau sering menyayangi dan mencandai Hasan dan Husein sebagaimana telah kita singgung di muka. Barangkali ini pula yang menyebabkan anak-anak kecil amat gembira dengan kedatangan beliau dari bepergian. Mereka segera menghambur untuk menjemput Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih:

"Apabila datang dari perjalanan, beliau dihamburi oleh anak-anak kecil dari keluarganya".

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendekap mereka, seperti diceritakan oleh Abdullah bin Ja'far:

"Apabila Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam datang dari bepergian, beliau menghambur kepada kami, menghambur kepada saya, kepada Hasan dan Husain, ia berkata: "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membawa salah seorang dari kami di antara kedua tangannya, dan yang lain di belakangnya sehingga kami masuk kota Madinah".

Bandingkanlah antara hal ini dengan keadaan sebagian rumah yang gersang, tak ada canda, tak ada tawa, kelembutan, juga tidak kasih sayang.

Barangsiapa yang mengira bahwa mencium anak-anak akan mengurangi wibawa ayah maka hendaknya ia membaca hadits berikut ini:

Dari Abu Hurairah radhiyallah 'anhu ia berkata: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mencium Hasan bin Ali sedang di sisi beliau terdapat Al-Aqra' bin Habis At-Tamimi sedang duduk. Maka Al-Aqra' berkata: "Saya memiliki sepuluh anak, saya tidak pernah mencium seorangpun dari mereka". Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat kepadanya kemudian bersabda: "Barangsiapa tidak mengasihi, niscaya dia tidak dikasihi".

Salah seorang dari anggota keluarga tidak mungkin bisa lepas dari akhlak buruk dan menyimpang, seperti: dusta, menggunjing, mengadu domba atau yang semacamnya. Akhlak buruk ini harus dilawan dan disingkirkan.

Sebagian orang menyangka bahwa hukuman jasmani adalah satu-satunya jalan keluar untuk mengatasi masalah tersebut. Di bawah ini Aisyah radhiyallah 'anha meriwayatkan hadits -dalam persoalan tersebut- yang penuh muatan pendidikan:

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam apabila mengetahui seseorang anggota keluarganya melakukan sekali dusta, beliau terus memalingkan diri daripadanya sehingga ia mengatakan bertaubat."

Dari hadits di atas, jelaslah bahwa memalingkan diri dan hijr (memisah, mendiamkan, meninggalkan) dia dengan tidak mengajaknya bercakap-cakap serta memberikan hukuman yang setimpal - dalam hal ini - adalah lebih berpengaruh daripada hukuman jasmani. Karena itu hendaknya para pendidik di rumah merenungkannya.

Menampakkan dan memberi isyarat bentuk hukuman adalah salah satu metode pendidikan yang tinggi. Karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam Shallallahu 'alaihi wa sallam menerangkan sebab mengapa seyogyanya digantungkan cambuk atau tongkat di rumah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Gantungkanlah cambuk di mana bisa dilihat oleh anggota keluarga, karena ia lebih mendidik mereka".

Dengan melihat alat untuk menghukum, menjadikan orang-orang yang berniat jahat takut melakukannya, karena merasa ngeri dengan bentuk hukuman yang bakal diterimanya, sehingga ia menjadi motivasi (pendorong) bagi mereka dalam beradab dan berakhlak mulia.

Ibnu Al-Anbari berkata: "Tidak ada riwayat yang menyebutkan agar memukul dengan alat itu, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menyuruh hal tersebut kepada seorangpun, tetapi beliau inginkan agar engkau tidak lepas mendidik mereka"

Memukul sama sekali bukan dasar dalam mendidik. Tidak dibolehkan menggunakannya kecuali jika seluruh cara mendidik telah habis atau membebaninya untuk melakukan ketaatan yang diwajibkan. Seperti firman Allah:

"Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz (meninggalkan kewajiban bersuami isteri)nya maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka ditempat tidur mereka dan pukullah mereka". (An-Nisa: 34).

Secara tertib, juga seperti dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

"Perintahkanlah anak-anakmu melakukan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun dan pukullah karena meninggalkannya ketika mereka berumur sepuluh tahun".

Menggunakan hukuman pukul tanpa dibutuhkan merupakan bentuk pelanggaran. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menasehati wanita agar tidak menikah dengan laki-laki karena dia tidak meletakkan tongkat dari lehernya, maksudnya karena ia suka memukuli wanita.

Tetapi orang yang menganggap tidak perlu hukuman pukul secara mutlak, karena taklid pada teori pendidikan orang-orang kafir, maka pendapat ini salah besar dan bertentangan dengan nash-nash syar'i.

Menambah banyak teman sangatlah mudah dan cepat.
Undang teman dari Hotmail, Gmail ke Yahoo! Messenger sekarang!

Jadikan Rumah sebagai Majlis Dzikrullah

Diposting oleh M. Aminudin On 21.16 0 komentar

Rasulullah shallallahu alaihi wasalam bersabda:

"Perumpamaan rumah yang di dalamnya ada dzikrullah, dan rumah yang tidak ada dzikrullah di dalamnya adalah (laksana) perumpamaan antara yang hidup dengan yang mati"
Hadits riwayat Muslim dan Abu Musa 1/539, cet. Abdul Baqi
Karena itu rumah harus dijadikan sebagai tempat untuk melakukan berbagai macam dzikir, baik itu dzikir dalam hati maupun dengan lisan, shalat, atau membaca shalawat dan Al-Qur'an, atau mempelajari ilmu-ilmu agama, atau membaca buku-buku lain yang bermanfaat.

Saat ini betapa banyak rumah-rumah umat Islam yang mati karena tidak ada dzikrullah di dalamnya, sebagaimana disebutkan oleh hadits di atas. Dan apatah lagi manakala yang menjadi dendangan di dalam rumah itu adalah syair-syair dan lagu-lagu setan, menggunjing, berdusta dan mengadu domba?
Apatah lagi jika rumah-rumah itu penuh dengan kemaksiatan dari kemungkaran, seperti ikhtilath (campur baur dengan lawan jenis) yang diharamkan, tabarruj (pamer kecantikan dan perhiasan) di antara kerabat yang bukan mahram atau kepada tetangga yang masuk ke rumah?
Bagaimana mungkin malaikat akan masuk ke dalam rumah dengan keadaan seperti itu? Karena itu hidupkanlah rumahmu dengan dzikrullah! Mudah-mudahan Allah merahmatimu.
Saudaraku Sukim dan Kaminah
Allah berfirman :
"Dan Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya: "Ambillah olehmu berdua beberapa buah rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu sebagai kiblat dan dirikanlah shalat serta gembirakanlah orang-orang yang beriman".
(Yunus: 87).
Ibnu Abbas berkata: "Maksud disuruh menjadikan rumah-rumah mereka sebagai kiblat yaitu mereka diperintahkan menjadikan rumah-rumah itu sebagai masjid-masjid (tempat beribadah)".
Ibnu Katsir berkata: "Hal ini seakan-akan - Wallahu a'lam - ketika siksaan dan tekanan Fir'aun beserta kaumnya semakin menjadi-jadi atas mereka, maka mereka disuruh untuk memperbanyak shalat sebagaimana firman Allah Ta'ala :
"Wahai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu"
(Al-Baqarah: 153).
Dalam hadits:


"Apabila Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam menghadapi suatu kesulitan, maka beliau melakukan shalat". Tafsir Ibnu Katsir, 4/224.
Hal ini menegaskan betapa pentingnya ibadah di dalam rumah-rumah,terutama dalam waktu-waktu lemah dan tertindas, demikian pula dalam beberapa kesempatan manakala umat Islam tidak mampu menampakkan shalat mereka di hadapan orang-orang kafir. Dalam hal ini kita juga perlu mengenang kembali mihrab Maryam, yakni tempat peribadatan beliau, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta'ala :
"Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di Mihrab ia dapati makanan di sisinya". (Ali lmran : 37)
Para sahabat juga amat memperhatikan masalah shalat di dalam rumah mereka selain shalat fardhu. Sebuah kisah di bawah ini menarik sebagai pelajaran bagi kita :
"Dari Mahmud bin Ar-Rabi' Al-Anshari, bahwasanya Itban bin Malik - dia adalah salah seorang Sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam yang ikut serta dalam perang Badar, dari kaum Anshar - ia datang kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam lalu berkata: "Wahai Rasulullah!, pandanganku telah menipu tapi aku tetap shalat bersama kaumku, apabila turun hujan, mengalirlah air di lembah (yang memisahkan) antara aku dengan mereka sehingga aku (tak) bisa datang ke masjid mereka dan shalat bersama-sama, aku sangat ingin wahai Rasulullah, jika engkau datang kepadaku dan shalat di dalam rumahku sehingga aku menjadikannya sebagai mushalla (tempat shalat)". Ia berkata: "Maka Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam bersabda kepadanya: "Akan aku lakukan Insya Allah"." Itban berkata: "Maka berangkatlah Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam dan Abu Bakar ketika siang (nampak) meninggi, maka Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam meminta izin, lalu aku mengizinkan kepada beliau, beliau tidak duduk sebelum masuk ke dalam rumah lalu beliau berkata: "Di bagian mana engkau suka aku melakukan shalat dari rumahmu?" . "Ia berkata: "Maka aku tunjukkan kepada beliau suatu arah dari rumahku, maka Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam berdiri kemudian bertakbir, lalu kami semua berdiri membentuk barisan, dan Nabi Shallallahu alaihi wasalam shalat dua rakaat kemudian salam".
Dalam memetik pelajaran dari hadits di atas, Ibnu Hajar berkata: "Di situ merupakan pelajaran, agar kita menggunakan tempat tertentu untuk melakukan shalat dalam rumah. Adapun larangan untuk menjadikan tempat tertentu dalam masjid adalah hadits Abu Daud, dan itu jika ia lakukan untuk riya' atau yang sejenisnya. Menjadikan tempat tertentu dalam rumah untuk shalat bukan berarti menjadikan tempat tersebut sebagai wakaf - tidak berlaku padanya hukum wakaf - meski secara umum dikategorikan dengan nama masjid.
Dari Aisyah radhiallahu anha ia berkata:

Suatu ketika Rasullah Shallallahu alaihi wasalam, mengerjakan shalat malam, ketika akan witir beliau mengatakan: "Bangunlah, dan dirikanlah shalat witir wahai Aisyah!".
"Allah mengasihi laki-laki yang bangun malam kemudian shalat lalu membangunkan isterinya sehingga shalat, jika tidak mau ia memerciki wajahnya dengan air"
Hadits riwayat Muslim, Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, 6/23
Membiasakan dan menganjurkan para isteri dengan sedekah adalah sesuatu yang bisa menambah iman, ia adalah perkara agung yang dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam dengan sabdanya :


"Wahai segenap wanita, bersedekahlah kalian. Sesungguhnya aku melihat bahwa kalian adalah sebanyak-banyak penduduk Neraka"
Hadits riwayat Ahmad dan Abu Daud; Shahihul jami' , hadits no.3488
Di antara ide yang bagus adalah dengan meletakkan kotak amal di dalam rumah untuk orang-orang miskin, sehingga setiap uang yang masuk di dalamnya menjadi hak bagi orang-orang yang membutuhkannya, karena itulah tempat dana mereka di dalam rumah orang muslim. Jika anggota keluarga melihat seorang panutan yang membiasakan puasa pada ayyaamul biidh (pertengahan setiap bulan Qamariyah, yaitu tanggal 13, 14, 15), hari Senin dan Kamis, hari Asyura, hari Arafah, pada banyak hari di bulan Muharram dan Sya'ban, niscaya akan mendorong anggota keluarga yang lain untuk mengikutinya.

Tafsir Ayat-ayat Gender dalam Al-Quran

Diposting oleh M. Aminudin On 20.39 0 komentar

(Tinjauan terhadap Pemikiran Muhammad Syahrur dalam “Bacaan Kontemporer”)
Oleh : Muhammad ‘Aunul ‘Abîed Shah

Membicarakan kaum perempuan dan kedudukannya dalam kehidupan sosial tentulah menarik. Apalagi dalam masyarakat yang —secara umum— bersifat patrilineal (memuliakan kaum lelaki dalam semua aspek kehidupan). Tanpa menggunakan gender sebagai pisau analisa terhadap realita, tidak akan pernah kita dapatkan kejanggalan. Semua “proses” kehidupan berjalan “normal” sebagaimana ghalibnya. Sehingga, tanpa disadari, kita sendiri terjerumus dalam praktek misoginy, sebuah idiom modern yang berarti tindakan penindasan terhadap kaum perempuan, baik secara langsung maupun tidak langsung dan baik berlangsung dengan kasar maupun halus.

Memang, tidak selamanya kekerasan dan ketidakadilan gender dilakukan oleh lelaki terhadap perempuan, melainkan bisa juga terjadi antara perempuan terhadap lelaki. Namun karena relasi kekuasaan gender yang berlangsung di masyarakat, umumnya yang menjadi korban kekerasan gender adalah kaum perempuan. Sayangnya, ketidakadilan tersebut belum bisa dirasakan oleh semua pihak, termasuk oleh sebagian besar kaum perempuan yang menjadi korbannya. Menurut Mansour Fakih, hal itu disebabkan karena mereka belum memiliki kesadaran dan sensitivitas gender.
Dan ketika alat analisa gender dalam ilmu-ilmu sosial ditemukan, barulah terasa ada “yang tidak beres” dalam keseharian hidup kita. Satu contoh, Hampir semua ulama Fiqh (hukum Islam) pada periode awal telah “lengah” dalam menafsirkan ayat-ayat gender dalam al-Qur’an, sehingga mereka memahaminya secara literal. Akibatnya, tidak heran kalau hukum Islam banyak menghadapi serangan gencar di abad modern, dengan tuduhan telah “menindas” kaum perempuan dan menjadikannya sebagai anggota masyarakat “kelas dua”. Di lain pihak, kita sendiri cenderung “menganggap benar” atau paling tidak “menganggap biasa” praktek misoginy yang terjadi, seperti justifikasi makna literal ayat al Qur’an “al-rijâl qawwâmûn ‘alâ al-nisâ’”, dengan alasan bahwa prosentase akal dalam diri perempuan hanya 1%, sedangkan 99% yang lain dikuasai oleh emosi. Ada juga yang mengatakan bahwa akal kaum perempuan hanya setengah kemampuan akal laki- laki. Tidak heran kalau kaum perempuan cenderung bertindak emosional (Bâhitsât al-Bâdiyah: hal. 62). Dan mengenai sifat emosional ini, Allah SWT berfirman: “Inna al-nafs la ammâratun bi al-sû’”(Sesungguhnya jiwa itu betul-betul mendorong kepada kejelekan). Jadi, sangatlah logis kalau mereka tidak dibebani dan tidak boleh diberi tanggung jawab di luar batas kemampuan “kodrati” tersebut. Sampai kaum perempuan sendiri —secara apologis— seringkali “membenarkan” pandangan seperti ini. Bahkan mereka menjadikan ayat-ayat tersebut untuk menjustifikasikan ketidakmampuan diri dan berperilaku bak cinderella yang hanya bisa di- “lindungi”, di-“tolong”, di-“jaga” dan di-“perhatikan”.
Kiranya, latar belakang ini telah mendorong Muhammad Syahrur, dalam buku kontroversialnya “al-Kitâb wa al-Qur’ân”, untuk mencoba menerapkan metodologi semantiknya terhadap ayat-ayat gender yang terdapat dalam al-Qur’an.
Penggunaan istilah ayat-ayat gender terhadap ayat-ayat yang mengatur hubungan laki-laki dan perempuan —kiranya— lebih tepat daripada, misalnya, ayat-ayat Nisâ-iyah atau ayat-ayat perkawinan. Penggunaan istilah “Nisâ-iyah” (atau Fiqh al-Nisâ’) yang dinisbahkan kepada “al- Nisâ’” (kaum perempuan) terasa kurang tepat, karena menyiratkan bahwa subyek aktiv dalam interaksi kehidupan yang terdapat dalam ayat itu hanya kaum perempuan. Padahal, kenyataannya, secara teknis kaum lelaki juga terlibat di dalamnya. Penggunaan istilah ayat-ayat perkawinan juga kurang bisa diterima, karena sebagian di antara ayat-ayat tersebut —meskipun bisa dimasukkan dalam lingkup perkawinan—, ternyata cakupannya lebih luas dari itu.
Sedangkan pengertian istilah Gender berbeda dengan jenis kelamin (sex). Gender adalah pembagian lelaki dengan perempuan yang dibentuk secara sosial maupun kultural. Istilah ini pertama digunakan oleh Ann Oakley dan didefinisikan sebagai: “Behavior differences between women and men that are socially constructed —created by men and women themselves; therefore they are matter of culture.” Sementara, jenis kelamin (sex) lebih merupakan jenis kelamin yang ditentukan secara biologis atau ketentuan Tuhan.(Fakih, 1996: hal. 1-2)
Metodologi Tafsîr Syahrur terhadap Ayat-ayat Gender
Selayaknya penulis membahas terlebih dahulu metodologi kontroversial Syahrur dalam menafsirkan ayat-ayat al Qur’an, secara lengkap dan mendetail. Tetapi hal itu bukanlah obyek utama dari kajian kita pada kesempatan yang terbatas ini. Apalagi pada beberapa edisi sebelumnya, Nuansa telah mempublikasikannya. Sehingga, cukuplah kiranya, kalau penulis hanya membahas ide-ide Syahrur yang berkaitan dengan ayat-ayat gender. Dalam konteks ini, Syahrur menulis:
Bahwasanya kajian tentang kedudukan perempuan dalam Islam termasuk dalam bidang yang sangat sensitiv. Dan sudah banyak yang mencoba mengkajinya, baik dari kalangan “pendukung“ Islam maupun kelompok yang “memusuhi“ Islam. Meskipun demikian, saya tidak yakin bahwa sudah ada yang melakukan kajian orisinil terhadap obyek ini, dengan bertolak dari perspektiv pertentangan (yang terus menerus, pen) antara kelompok substansialis yang formatnya bisa berubah (Dalam bahasa Syahrur disebut sebagai al Hanîfîyah) dan kelompok formalis yang statis (Baca: al Shirâth al Mustaqîm atau al Istiqâmah) —dalam ajaran Islam— di satu sisi, dan pertentangan keduanya dengan fitrah kemanusiaan di sisi lain, seraya menjadikan konsep al-hudûd sebagai pilar utama (Syahrur, 1992: hal. 592 )
Kemudian ia memaparkan pandangannya tentang penafsiran ayat-ayat gender sebelumnya, dengan menyebut kesalahan-kesalahan para penafsir terdahulu sebagai berikut:
1. Dalam klaim Syahrur, kesalahan utama Fiqh Islam dan Tafsîr al-Qur’an konvensional yang ada sekarang bersumber dari kesalahan metodologi yang tidak memperhatikan karakteristik dan fleksibilitas pengertian teks-teks kitab suci. Akibatnya hukum Islam yang ada sekarang membebani punggung ummat dan
tidak sesuai lagi dengan kemajuan ilmu pengetahuan serta situasi-kondisi abad ke-20. (Al-‘Ourî: hal. 127)
2. Bahwa hukum-hukum Islam tentang kaum perempuan mempunyai sifat yang sama dengan hukum-hukum Islam tentang perbudakan, yang tidak menggunakan cara revolusi dalam menuntut perubahan. Keduanya dilakukan secara berangsur-angsur. Karena itu, harus dikatakan bahwa emansipasi kaum perempuan dalam Islam telah dimulai dari zaman Nabi saw dan belum berakhir, sebagaimana halnya dengan pembebasan budak. Karena itu, dengan bersandarkan kepada ayat-ayat hudûd, “program” perbaikan kondisi sosial kaum perempuan harus tetap berlanjut.
3. Kesalahkaprahan para ulama dalam menafsirkan QS. Ali ‘Imrân: 14 serta QS. Al-Baqarah: 223, sudah menjebak mereka dalam kesalahan fatal: Memposisikan perempuan sebagai harta-benda milik laki-laki. Kesalahan ini dilatari oleh ketidaktahuan mereka terhadap konsep hudûd dalam penafsiran al-Qur’an kontemporer.
4. Bahwa Islam, pada hakikatnya, meletakkan perempuan dalam posisi yang seimbang. Perhatikan, misalnya, QS. Al-Baqarah: 182 (Hunna libâs lakum wa antum libâs lahunna). Islam juga menyamakan lelaki dan perempuan dalam sistem hukum, tanpa memandang perbedaan yang ada, baik perbedaan fisik (seperti QS. Al-Najm: 45 dan QS. Al-Dzâriyât: 49), maupun perbedaan kemampuan akal (seperti QS. Al-Hujurât: 13 dan QS. Al-Isrâ’: 70).
5. Syahrur menamakan bukunya “Al Kitâb wa al Qur’ân: Qirâ’ah Mu‘âshirah”. Sub judul “Bacaan Kontemporer” (Qirâ’ah Mu‘âshirah) menyiratkan adanya unsur perkembangan arti sesuai dengan bertambahnya masa. Dalam konteks ayat-ayat gender ini, adalah logis —menurut Syahrur— kalau para ulama terdahulu belum mengetahui adanya teori perbatasan (al-hudûd) ini, karena teori ini baru ditemukan oleh Newton pada awal abad modern. Dan masalah perbatasan (al-hudûd) termasuk masalah pelik yang hanya mampu dipahami oleh manusia terdidik (baca: educated, mutahadldlir). Lawannya adalah orang “kampungan”, tidak berpendidikan dan tidak berperadaban. Untuk konteks kearaban, mereka disebut sebagai orang bedouin (badui) atau al-A‘rab.Karena itu, Allah berfirman: Al-A‘râb asyadd kufran wa nifâqan wa ajdar an lâ ya‘lamû hudûd Allah (QS. Al- Tawbah: 97).
6. Dalam interpretasi ayat-ayat gender, Syahrur banyak berpegang kepada konsep al-hudûd yang yang dirumuskannya (al-had al adnâ —perbatasan maksimal, al had al a‘lâ —perbatasan minimal— dan mâ baynahumâ —yang di antara keduanya). Ia menuduh bahwa kesalahan para fuqahâ’ disebabkan karena mereka mencampur-adukkan ayat-ayat gender yang terdapat dalam Umm al- Kitâb, antara yang bersifat hudûd dengan yang bersifat ta‘limât. Ayat-ayat yang bersifat ta‘limât bisa dilanggar atau tidak dikerjakan, atau malah mengerjakan yang sebaliknya, karena ia hanya sekedar petunjuk etis. Sedangkan ayat-ayat hudûd harus bisa mentolerir perilaku-perilaku anak manusia, selama perilaku tersebut masih dalam batasan mâ baynahumâ dan belum melewati perbatasan al-adnâ (minimum) ataupun yang al-a‘lâ (maksimum). (Al- Syawwâf, 1993: hal. 24)
Bertolak dari pandangan di atas, perlu ditekankan bahwa QS. Al-Nûr: 31 termasuk ayat-ayat yang menjelaskan batasan-batasan dalam adab berpakaian. Begitu juga QS. Al-Nisâ’: 3 termasuk ayat-ayat yang menjelaskan batasan-batasan dalam berpoligami. Di lain pihak, QS. Al-Ahzâb: 59 termasuk ayat-ayat ta‘limât.
7. Di dalam menafsirkan kitab suci al-Qur’an, Syahrur bersandar kepada metode semantik Abû ‘Alî al Fârisî yang bisa didapatkan dalam khazanah pemikiran Ibn Jinnî dan ‘Abdu-l-Qâdir al- Jurjânî. Di samping itu, ia juga menggunakan ilmu linguistik modern dengan premisnya bahwa semua lisan kemanusiaan —termasuk lisan kearaban— tidak mempunyai satu katapun yang sinonim. Sehingga, sebuah makna kata bisa tereduksi oleh proses evolusi sejarah atau —lebih dari itu— bisa juga membawa tambahan arti lebih dari kata lain yang serupa, tapi tak sama. Dalam hal ini, Tsa‘lab mempunyai postulat terkenal: “Ma yudhann fi al-dirâsah al-lughawiyah min al-mutarâdifât huwa min al-mutabâyinât.” (Apa yang sebelumnya diduga dalam kajian bahasa sebagai kata-kata yang sinonim —sebenarnya— termasuk di antara kata-kata yang mempunyai arti berbeda). Karena itu, Syahrur memilih Kamus Maqâyîs al-Lughah karya Ibn Fâris sebagai referensi utama dalam mencari perbedaan makna kata-kata yang dikajinya.(Al-Banna, 1996: hal. 126)
Membaca Penafsiran Syahrur
Sebelum mengkaji lebih jauh, perlu kiranya mendefinisikan “Perempuan” dalam Islam: Apakah itu “Perempuan” ? Allah sudah mendefinisikan perempuan dan —juga— laki-laki dalam dua perspektiv yang berbeda: Yang pertama dalam perspektivnya sebagai makhluq hidup secara fisiologis (baca: al- basyar) dan dalam perspektiv yang kedua, sebagai manusia yang berlogika dan mempunyai kesadaran (baca: al-insân).
Dalam perspektiv yang pertama, Allah berfirman: Wa min kulli sai’in khalaqNâ zawjayn la‘allakum tadzakkarûn (QS. al Najm: 45). Dalam perspektiv ini, manusia (laki-laki dan perempuan) tidak berbeda dengan makhluq Allah yang lain. “Perempuan” termasuk dari golongan manusia, sedangkan “betina” berasal dari golongan hewan. Keduanya sama-sama mempunyai susunan fisiologis yang bisa menerima pembuahan, bisa hamil dan melahirkan, menyusui dan punya kemampuan untuk membina keturunan. Dalam konteks ini, perempuan dan betina sama saja. Sedangkan “laki-laki” adalah pasangannya perempuan, lawan jenisnya, dan berinteraksi dengannya dalam hubungan yang saling mempengaruhi. Laki-laki mempunyai potensi untuk membuahi. Dan dalam konteks ini, laki-laki tidak berbeda dengan hewan jantan.
Sedangkan dalam perspektiv yang kedua, Allah berfirman: Yâ ayyuhâ al-nâs innâ khalaqNâkum min dzakar wa untsâ wa ja‘alNâkum syu‘ûban wa qabâila li ta‘ârafû, inna akramakum ‘inda Allah atqâkum (QS. Al-Isrâ’: 70). Dari ayat ini bisa dipahami bahwa, yang dimaksud dengan kata “al-Nâs” dalam firman-Nya berlaku untuk kedua jenis: laki-laki dan perempuan. Begitu juga kalau Ia menggunakan kata-kata “Ya ayyuhâ-l-ladzîna âmanû”, khithâbnya juga ditujukan kepada semua pihak, baik berkelamin laki-laki maupun yang berkelamin perempuan.
Maka, Allah SWT telah memuliakan semua jenis manusia dengan nilai-nilai kemanusiaannya. Allah tidak pernah melebihkan salah satu jenis dari jenis yang lain, kecuali dengan kualitas amal-perbuatannya sebagai standar penilaian. Berarti,
kaum perempuan mempunyai derajat yang sama dengan kaum lelaki. Ia juga mempunyai hak yang sama dengan kaum lelaki dalam menyalurkan keinginan dan aspirasinya, selama situasinya memungkinkan. Sehingga, mitos yang menyatakan bahwa “kaum perempuan adalah golongan yang kualitas akalnya kurang dan nilai agamanya rendah” harus ditinjau kembali.
Untuk sekedar contoh, di antara bentuk interpretasi baru yang ditawarkan oleh Syahrur adalah pengertian ayat-ayat berikut ini:
8. Nisâ’ukum hartsun lakum fa’tû hartsakum annâ syi’tum wa qaddimû li anfusikum wattaqû Allah wa‘lamû annakum mulâqûhu wa basysyir al-mu’minîn (QS. Al-Baqarah: 223)
Makna kata: Kata al-Nisâ’ —menurut Syahrur— adalah bentuk jamak (plural) dari kata al-Nasî’ah, yang berarti (hasil usaha, pen) yang datang belakangan/ terlambat (al-mutaakhhar) atau yang baru muncul (al-mustajid). Berbeda dengan penafsiran umum yang mengartikannya sebagai bentuk jamak dari al-mar’ah (=perempuan), min ghayr lafdzihâ (tanpa mengikuti bentuk katanya). Sedangkan kata al-harts berarti mengumpulkan (al-jam‘) dan mencari penghasilan (al-kasb) yang berkenaan dengan materi. Berbeda dengan penafsiran umum yang mengartikannya sebagai melempar bibit di atas muka bumi dan disebut juga sebagai ladang. Sedangkan kata ganti (dlamîr) “-kum” adalah kata ganti orang kedua jamak, yang dalam bahasa Arab lazim digunakan untuk kedua jenis kelamin, apabila terdapat dalam susunan katanya qarînah (embel-embel, keterangan) yang menjelaskan maksud. Pengertian ayat: Dari pengertian kosa-kata di atas, kita bisa menerjemahkan ayat tersebut dalam sebuah format baru yang berbeda dengan yang biasa dikenal: “Hasil usaha kalian (wahai laki-laki dan perempuan, pen) adalah kapital yang kalian kumpulkan dari pekerjaan kalian. Maka perlakukanlah pekerjaan kalian seperti yang kalian kehendaki. Dan kerjakanlah perbuatan yang menguntungkan kalian dan bertakwalah kepada Allah (dalam pekerjaan kalian itu, pen). Serta ketahuilah bahwa kalian kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang- orang yang beriman.”
9. Zuyyina li-l-nâs hubb al-syahawât min al-nisâ’ wa-l-banîn wa al-qanâthir al-muqantharah min al-dzahab wa al-fidldlah wa-l-khayl al-musawwamah wa al-an‘âm wa al-harts, dzâlika matâ‘ al hayât al-dunyâ wa Allah ‘indahu husnu-l-ma’âb (QS. Àli ‘Imrân: 14)
Makna kata: Sebagaimana yang disinggung di atas, kata al-Nâs mencakup kedua jenis: Laki-laki dan perempuan. Begitu juga kata al-Nisâ’ berarti yang datang belakangan/terlambat atau sesuatu yang baru muncul. Sedangkan kata al-banûn merupakan bentuk jamak dari kata al-Abniyah, yang berarti benda-benda yang tidak mudah dipindahkan (bangunan). Berbeda dengan penafsiran umum yang mengartikannya sebagai bentuk jamak dari kata al-Ibn dan asal katanya al-banawun, yang artinya adalah “anak”.
Pengertian ayat: Dari pengertian kosa-kata di atas, kita bisa menerjemahkan ayat ini dalam sebuah format baru: “Difithrahkan dalam diri ummat manusia
kecenderungan untuk menyukai hasil kerjanya, bangunan-bangunan megah, harta berlimpah yang terbuat dari emas dan perak, kuda pilihan dan binatang-binatang dari jenis ternak serta pekerjaan/profesi yang menghasilkan keuntungan. Semua itu adalah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).”
10. Wa-l-yadlribna bi khumurihinna ‘alâ juyûbihinna wa lâ yubdîna zînatahunna illa li bu‘ûlatihinna... ... ... ... wa lâ yadlribna bi arjulihinna li yu‘lama ma yukhfîna min zînatihinna ... ... ... (QS. Al-Nûr: 31)
Makna kata: Asal kata al-dlarb dalam bahasa Arab mempunyai dua arti. Yang pertama adalah melangkah di atas muka bumi untuk kepentingan profesi, perdagangan dan jalan-jalan (perhatikan QS. Al-Nisâ’: 94 dan 101, QS. Al-Mâ’idah: 106). Sedangkan yang kedua berarti pembentukan, menjadikan dan pelaksanaan (QS. Ibrahim: 45). Adapun kata al-khumur berasal dari al-khamr yang berarti penutup. Sedangkan kata Juyûb adalah bentuk jamak dari kata al-jayb, yang berarti suatu hal yang terbuka dan mempunyai dua tingkat, tidak sekedar satu. Berbeda dengan penafsiran umum yang mengartikannya sebagai kantong atau lubang pakaian. Penafsiran ayat: Kita bisa menerjemahkan ayat di atas sebagai berikut: “Dan jadikanlah kain penutup tubuh kalian di atas bagian yang tubuh yang berlekuk/bercelah dan mempunyai tingkat....”. Selanjutnya, “Dan janganlah kalian (wahai kaum perempuan) berprofesi yang menunjukkan perhiasan diri kalian yang tersembunyi (baca: al-juyûb, lekuk tubuh mempunyai celah dan bertingkat).”
Bisa dipahami dari pengertian di atas, bahwa al-khimâr yang dimaksud dalam ayat tersebut bukan penutup kepala seperti yang lazim diketahui. Al-Khimâr yang dimaksud mencakup segala macam penutup tubuh, baik kepala maupun anggota badan yang lain. Adapun anggota tubuh yang berlekuk, bercelah dan mempunyai tingkat —bagi kaum perempuan— adalah bagian di antara kedua belah buah dada, bagian di bawah buah dada, di bawah ketiak, kemaluan dan kedua bidang pantat. Kalaulah ada yang mempertanyakan: Bukankah hidung, mata dan mulut bisa dimasukkan juga dalam kategori al-juyûb dalam pengertian ini ? Syahrur menjawab, memang betul demikian adanya. Tetapi perlu digaris-bawahi bahwa mulut, hidung dan mata adalah al-juyûb al-dhâhirah (yang —biasa— terlihat) bukan al-khâfiyah (yang —harus— tersembunyi). Apalagi bagian-bagian itu terletak di wajah yang merupakan identitas pengenal diri manusia.
Sedangkan larangan yang tersebut dalam “wa lâ yadlribna bi arjulihinna” dimaksudkan agar kaum perempuan tidak menampakkan bagian tubuh mereka yang termasuk dalam kategori al-juyûb. Berarti, Allah melarang kaum perempuan beriman untuk bekerja dalam bidang-bidang yang menampakkan bagian tubuh yang terlarang, seperti profesi penari striptease dan prostitusi. Berarti juga, diperbolehkan bagi kaum perempuan untuk berkiprah dalam bidang- bidang profesi yang tidak termasuk dalam kategori ini.
Apabila dikaitkan dengan konsep Syahrur tentang al-hadd al-adnâ (perbatasan minimal) dan al-hadd al-a‘lâ (perbatasan maksimal), kemudian dibandingkan dengan hadits Nabi saw bahwa seluruh bagian tubuh perempuan adalah ‘aurat,
kecuali wajah dan telapak tangan, maka bisa dikatakan di sini: Bahwa al-hadd al-adnâ dari bagian tubuh yang harus ditutup adalah bagian-bagian yang termasuk kategori al-juyûb, sedangkan al-hadd al-a‘lâ-nya adalah bagian- bagian mâ dhahara minhâ (wajah, telapak tangan dan telapak kaki). Konsekwensinya, seorang perempuan yang menutup seluruh bagian tubuhnya telah melanggar hudûd Allah, begitu juga kaum perempuan yang memperlihatkan tubuhnya lebih dari yang termasuk kategori al-juyûb. Dan diperbolehkan bagi kaum perempuan untuk berpakaian “sekehendaknya”, selama masih dalam batasan antara keduanya dan tidak dimaksudkan untuk menunjukkan al-zînah al- khâfiyah (perhiasan yang harus disembunyikan).
Analisa Kritis terhadap Ayat-ayat Gender dalam “Bacaan Kontemporer”
Buku al-Kitâb wa al-Qur’ân dengan metodologi dan berbagai idenya memang telah memberikan warna baru dalam interpretasi teks al-Qur’an. Karena merupakan pemikiran yang baru sama sekali, tidak heran kalau menghadapi banyak tantangan. Sampai saat ini, sudah ada beberapa buku yang terbit sebagai reaksi balik terhadapnya, baik dari kelompok yang mendukung (seperti Jamal al-Banna dan Halah al-‘Ourî), maupun dari kelompok yang mendapatkan banyak kejanggalan di dalamnya (Seperti Khaled al-‘Akk, Salîm al-Jâbî, Munir al-Syawwâf dan Ahmed ‘Omrân).
Nada “tidak setuju” yang digaungkan oleh lawan-lawan pemikiran Syahrur, sebenarnya, bisa dibagi dalam dua argumen pokok:
11. Yang bisa dikatakan sebagai kesalahan utama Syahrur dalam “Bacaan Kontemporer”-nya adalah pelanggaran terhadap metodologi tafsir al-Qur’an yang secara ilmiyah sudah dianggap baku (al- ‘Akk,1994: hal. 5). Dan menurut Salîm al-Jâbî, karena tidak mengikuti petunjuk yang sudah ada, permisalan Syahrur adalah seperti orang yang meraba-raba apa yang akan terjadi di masa depan tanpa memiliki landasan apapun. Ia pun menuding Syahrur dengan sebuah postulat Arab yang terkenal “Kadz-dzaba al-munajjimûn wa law shadaqû” dan firman Allah SWT “Wa man adhlam min man iftarâ ‘ala Allah al-kadziba wa huwa yud‘â ilâ al-Islâm”.(Al-Jâbî, 1992: hal. 7)
12. Bahwa sumber utama pemikiran Syahrur adalah dialektika marxisme, sebagaimana yang tersirat dari judul bukunya “Qirâ’ah Mu‘âshirah”. Berarti —sebagaimana yang dikatakan oleh Munir al-Syawwâf, bahwa waktu adalah landasan pemahaman dan pemikiran anak manusia untuk memenuhi segala kebutuhannya dan bahwa realita material adalah sumber ilmu pengetahuan. (Al- Syawwâf, 1993: hal. 29-30)
13. Di sisi lain, ada sebagian pakar Tafsîr —contohnya Prof. Dr. Ibrâhîm ‘Abdurrahmân Khalîfah, ketua Dept. Tafsîr dan Ilmu-ilmu al-Qur’an, Fak. Ushuluddin, Universitas al-Azhar di Kairo— yang berpendapat bahwa “sebuah penafsiran makna ayat al-Qur’an yang menyimpang dari pengertian yang terdetik dalam pikiran (al-mutabâdir fî al-fahm) bisa disinyalir sebagai penafsiran yang lebih dekat kepada kesalahan, apalagi kalau diikuti oleh kejanggalan-kejanggalan dari aspek yang lain. (Khalîfah,1994: Vol. II)
Dalam kesempatan yang sangat terbatas ini, penulis hanya akan membatasi analisa penulis kepada obyek kajian kita kali ini, yaitu, ayat-ayat gender dalam “Bacaan Kontemporer”:
14. Tentang konsep bacaan kontemporer yang ditawarkan oleh Syahrur, khususnya tentang konsep al-hudûd, mungkin kita perlu bertanya: Apakah benar bahwa pengertian yang dipaparkan Syahrur, dalam bukunya itu, adalah pengertian yang dimaksud oleh Allah SWT, yang telah menurunkannya kepada Nabi saw ??? Apalagi, dengan terang-terangan, Syahrur menisbahkannya kepada Newton, seorang ilmuwan di zaman pra-modern, bukan pakar Tafsîr al-Qur’an dan lebih dari itu adalah seorang non muslim yang tidak tahu menahu sama sekali akan kebenaran dan —bahkan juga— tidak pernah mendengar akan adanya al-Qur’an. Ataukah pengertian tersebut termasuk penafsiran sains yang dipaksakan terhadap al-Qur’an dan sama sekali bukan dari al-Qur’an, seperti yang dikhawatirkan oleh Imam al-Syâthîbî dalam al-Muwâfaqât dan Sheikh Amîn al-Khûlî dalam Manahij al-Tajdîd ??? (Al-Khûlî, 1995: hal. 219-223)
15. Kemungkinan untuk meletakkan ayat-ayat gender dalam posisi yang sama dengan ayat-ayat tentang perbudakan, mungkin, perlu dikaji lebih teliti, karena perbedaan berikut:
�� Bahwa sistem perbudakan adalah pilar perekonomian masyarakat Arab pada waktu itu. Sehingga, penghapusan sistem ini akan sangat mengganggu roda perekonomian ummat dan menimbulkan reaksi destruktiv terhadap da’wah Islam. Bandingkan saja, misalnya, dengan Keputusan Presiden Amerika, Abraham Lincoln, yang secara tiba-tiba menghapuskan sistem perbudakan. Ternyata, Keppres tersebut secara serta merta mengobarkan perang sipil yang berkepanjangan dan memakan banyak korban. Karena itu, dengan penuh kebijaksanaan, ajaran Islam menghapuskannya secara evolutiv, seraya memposisikan orang yang takwa dalam derajat kemuliaan —walaupun ia budak— dan mendorong ummatnya untuk membebaskan budak (fakk raqabah).
�� Perempuan dalam Islam bukan berkedudukan sebagai budak laki-laki (raqîqah), melainkan pasangan hidup yang setara (rafîqah). Dan hukum-hukum yang berkenaan dengan kaum perempuan telah diturunkan secara final dalam al-Qur’an, seperti hak waris, hak-hak dalam perkawinan, persamaan dalam norma berpakaian dan sistem hukum pidana, hak menuntut ilmu dan kewajiban berjihad di jalan Allah, dan sebagainya.(‘Omran, 1995: hal. 470-471). Kesimpulannya, ada kaidah Ushûl al-Fiqh mengatakan: Al-qiyâs ma‘a al-fâriq bâthil.
16. Metodologi semantik an sich (dengan berdasarkan kepada pengertian yang terdapat hanya dalam kamus), yang digunakan oleh Syahrur dalam menafsirkan al-Qur’an, akan menjurus kepada penafsiran yang “kering” dan jauh dari makna yang terpahami secara integral dalam susunan ayat al-Qur’an. Kejanggalan ini bisa dilihat dari penafsirannya terhadap QS. Al-Baqarah: 223, bila dihubungkan dengan ayat sebelumnya, QS. Al-Baqarah: 222.(Al-Banna, 1996: hal. 133)
17. Menurut metodologi Tafsîr yang baku, di antara yang membawa penafsir kepada pemahaman yang lebih mendekati kebenaran adalah merujuk kepada asbâb al-nuzûl (konteks peristiwa turunnya) ayat tersebut. Karena, dari asbâb al-nuzûl itu, bisa diketahui latar-belakang turunnya ayat itu dalam kerangka zamannya. Ternyata, penafsiran semantik murni ala Syahrur sama sekali tidak memperhatikan background ini, sehingga terbawa oleh imajinasinya kepada thesa
yang kurang bisa dibenarkan. Sebagai contoh, penafsiran Syahrur terhadap QS. Al-Baqarah: 223, yang sangat kontradiktiv dengan sabab al-nuzûl yang diriwayatkan oleh Abû Dawûd dan al-Hakîm dari Ibn ‘Abbâs ra, bahwa Ibn ‘Umar ra menceritakan keengganan beberapa perempuan Anshar untuk melayani suaminya (yang berasal dari kaum Muhajirin) dalam variasi seni bercinta, dengan berargumentasikan mitos yang menjadi kepercayaan orang Yahudi Madinah saat itu. (Al-Suyûthî: hal. 76 )
18. Konsekwensi dari penafsiran Syahrur tentang pakaian wanita dalam al-Qur’an, menjurus kepada dua kesimpulan yang terlalu riskan:
�� Bahwa berpakaian termasuk di dalam ayat-ayat ta‘lîmât, yang boleh tidak dikerjakan. Karena manusia secara natural diciptakan telanjang. Firman Allah SWT, Yâ banî Àdama qad anzalNâ ‘alaykum libâsan yuwârî saw-atakum warisyâ (QS. Al-A‘râf: 26). Ayat ini, dalam klasifikasi Syahrur termasuk dalam ayat-ayat ta‘lîmât. Adapun perintah yang bersifat hudûd, hanya wajib dikerjakan apabila perempuan atau lelaki itu berkumpul dengan orang-orang non-muhrim/bukan suaminya. Firman Allah, lâ li bu‘ûlatihinna ... ... .... (QS. Al-Nûr: 31)
�� Bahwa hampir semua bentuk pakaian penduduk dunia, dengan beranekaragam modelnya, masih disyahkan menurut agama, karena masih termasuk dalam kategori baynahumâ: Menutup al-juyûb (di antara payudara, di bawah payudara, ketiak, pantat dan kemaluan) sebagai al-hadd al-adnâ dan menutup seluruh tubuh kecuali mâ dhahara minhâ (wajah, telapak tangan dan telapak kaki) sebagai al-hadd al-a‘lâ. Konotasinya, bahwa kaum perempuan masih diperbolehkan untuk memamerkan paha, mempertontonkan betis, memperlihatkan perut dan menampakkan rambut.
19. Akhirnya, kalau kita mengikuti pendapat Ibrâhim ‘Abdurrahmân Khalîfah, sulit kiranya untuk menerima penafsiran Syahrur. Karena banyak pengertian kosa-katanya yang berbeda dengan pengertian yang biasa dikenal, ditambah lagi dengan adanya kejanggalan-kejanggalan yang membuat penafsiran Syahrur patut dipertimbangkan kembali.
Khatimah
“Bacaan Kontemporer” ini adalah sebuah karya monumental yang patut dihargai dalam bidang kajian al-Qur’an. Komitmen keislaman penulisnya yang tinggi dan wawasannya yang luas terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, telah membuka cakrawala baru bagi diskursus pemikiran keislaman. Lebih dari itu, harus diakui pula bahwa Syahrur telah memberikan kontribusinya dalam upaya melepas ummat dari belenggu stagnasi pemikiran dan —khususnya dalam konteks tulisan ini— memecahkan problem ketidakadilan gender.
Sayangnya, karena kelemahan-kelemahannya yang —bagaimanapun— sangat manusiawi, Syahrur belum berhasil memberikan jawaban yang bisa diterima oleh semua pihak, terutama oleh para pakar Tafsir al-Qur’an, yang notabene dianggap lebih berkompeten. Sehingga, berbagai masalah kekinian —termasuk praktek misoginy— tetap harus dicarikan pemecahan legal (baca: syar‘iyah islâmiyah) yang lebih tuntas.
Yang terakhir, penulis hendak berapologi atas segala kekurangan yang ada dalam pemaparan ini. Seandainya boleh penulis mencari alasan, tentu penulis akan berlindung di balik argumen keterbatasan tempat dan keterbatasan waktu: Tempat yang tersedia untuk menuangkan fikrah dan waktu yang selalu saja tidak mencukupi tuntutan kesibukan. Tetapi hakikat yang sebenarnya, tentu saja, berpulang kepada keterbatasan kemampuan penulis sendiri yang tidak seberapa. Penulis hanya bisa berharap bahwa tulisan ini membawa manfaat bagi mereka yang mempunyai kepentingan dalam bidangnya atau, paling tidak, berminat dan konsern terhadap diskursus keislaman kontemporer. Wa Allah A‘lam bi al-shawâb.
Daftar Kepustakaan
20. Al-Qur’an al-Karîm
21. Bahitsat al Badiyah, Al Nisâ’iyât, Dar al Huda, Kairo, tt
22. Fakih, Mansour, Kekerasan Gender dalam Pembangunan, Makalah Halaqah “Budaya Kekerasan dalam Pandangan Islam”, P3M, Jakarta, 1996
23. Syahrur, Muhammad, Al Kitâb wa al Furqân, Sina Publisher, Kairo, cet. I, 1992
24. Al-Banna, Jamal, Nahwa Fiqh Jadîd, Dar al Fikr al Islamy, Kairo, cet. I, 1996
25. Al-Khûlî, Amîn, Manâhij Tajdîd, Hay’ah Mishriyah ‘Ammah li al Kitâb, Kairo, 1995
26. Khalîfah, Ibrâhîm ‘Abdurrahmân, Minnat al Mannân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Al-Azhar, Kairo, 1994, Vol. II
27. Al-‘Ourî, Halah, Qirâ’ah fî Kitab al Kitâb wa al-Qur’an, Dar al Fikr al-Islamî, Kairo, t.t.
28. Al-‘Akk, Khaled ‘Abdurrahman, Al-Furqân wa al Qur’ân, Al-Hikmah, Damaskus, 1994
29. Al-Jâbî, Salîm, Mujarrad Tanjîm, 3 Volume, Akâd, damaskus, 1992-1993-1994
30. Al-Syawwâf, Munir Muhammad Thahir, Tahâfut Qirâ’ah Mu‘âshirah, Al-Syawwâf, Limassol, Cyprus, 1993
31. ‘Abdu-l-Bâqî, Muhammad Fuad, al-Mu‘jam al-Mufahharas, Muassasah Jamal, Beirut, t.t
32. Al-Ashfahânî, Al-Râghib, Mufradât Alfâdz al-Qur’an, Dar al-Qalam, Damaskus, 1992
33. ‘Omrân, Ahmad, al-Qirâ’ah al-Mu‘âshirah li al-Qur’an fî al-Mîzân, Dar al-Nafâ-is, Beirut, 1995
34. Al-Suyûthî, Jalaluddin, Asbab al-Nuzûl, (Dalam Muhammad Hassan al-Hamshî, Al-Qur’an al-Karîm: Tafsîr wa Bayân), Dar al-Rasyîd, Damaskus, t.t
JURNAL KAJIAN KEISLAMAN NUANSA
Diterbitkan oleh:
Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama, Kairo – Mesir
Web: http://www.muslims.net/KMNU, Email: kmnu@muslims.net

Terima Kasih

Diposting oleh M. Aminudin On 20.31


Terima kasih telah menghubungi kami, semoga dapat menjalin erat ukhuwah islamiyah kita


Category :

Profil KUA Arahan

Diposting oleh M. Aminudin On 19.40 0 komentar

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Selamat datang di situs KUA Kecamatan Arahan.
Sebagai jari-jari manis dan ujung tombak Departemen Agama di tingkat kecamatan, Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Arahan berusaha memberikan pelayanan, bimbingan dan perlindungan terhadap kehidupan masyarakat dalam beragama, terutama bagi kaum muslimin di wilayah kerjanya, Tak pelak lagi, dalam kapasitas strukturalnya, keberadaan KUA Arahan memiliki peran dan fungsi yang cukup urgen dan sangat strategis.

Di sisi lain, secara sosio-kultural dan sosio-religius, keberadaan KUA Arahan merupakan representasi masyarakat dalam membangun dan menciptakan tatanan kehidupan yang dilandasi semangat moral, spiritual dan akhlakul karimah dalam keberlangsungan interaksi sosial di tengah masyarakat. Tentu saja, tugas dan peran KUA semacam ini merupakan tugas yang berat karena ia merupakan amanat moral dan sosial. Meski demikian, dengan segala keterbatasan dan plus minusnya, KUA Arahan terus berupaya melakukan pembenahan internal dalam menutupi semua kekurangan, dan mengejar ketertinggalan dalam rangka memaksimalkan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab yang diembankan KUA dalam menghadapi dinamika masyarakat yang terus mengglobal.

Kehadiran website ini diharapkan dapat menjadi pedoman gambaran tentang KUA Arahan dan kiprahnya dalam membangun umat sekaligus media untuk mengoptimalkan pelayanan kepada masyarakat menuju pelayanan prima yang diidam-idamkan sebuah lembaga pemerintahan.

Semoga situs ini bermanfaat bagi anda dan jika anda belum menemukan informasi yang anda butuhkan, anda dapat menghubungi kami melalui
e-mail : kuaarahan@yahoo.co.id. atau kua-arahan@bimasislam.com

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.





Category : | Selengkapnya......

KONTAK KAMI

Diposting oleh M. Aminudin On 19.23

Buku tamu

Ingin mengucapkan sesuatu pada kami? mungkin pertanyaan, kritik, saran, sharing informasi atau apa saja? silahkan isi form kontak di bawah ini. Terima kasih.


Masukkan Nama Anda
Alamat e-mail
Judul Pesan
Isi Pesan

Kode Verifikasi
Silahkan ketik kode disamping

[ Ganti Kode ] [ What's This? ]



Category :

STANDAR PELAYANAN NIKAH DAN RUJUK

Diposting oleh M. Aminudin On 10.53 2 komentar

STANDAR PELAYANAN NIKAH DAN RUJUK
DI KANTOR URUSAN AGAMA
BERDASARKAN PMA NOMOR 11 TAHUN 2007

1. PEGAWAI PENCATAT NIKAH DIJABAT OLEH KEPALA KUA, YANG MELAKUKAN PEMERIKSAAN PERSYARATAN, PENGAWASAN DAN PENCATATAN PERISTIWA NIKAH DAN RUJUK, PENDAFTARAN CERAI TALAK, CERAI GUGAT SERTA MELAKUKAN BIMBINGAN PERKAWINAN;
2. PEMBERITAHUAN KEHENDAK NIKAH DILAKUKAN SECARA TERTULIS DENGAN MENGISI FORMULIR PEMBERITAHUAN (N7) DAN DILENGKAPI PERSYARATAN SEBAGAI BERIKUT :

- SURAT KETERANGAN UNTUK MENIKAH DARI KEPALA DESA/LURAH (N1);
- FOTO COPY AKTA KELAHIRAN/SURAT KENAL LAHIR,FOTO COPY KTP DAN FOTO COPY KARTU KELUARGA;
- MENGISI SURAT KETERANGAN ASAL-USUL CALON MEMPELAI DARI KEPALA DESA/LURAH (N2);
- SURAT PERSETUJUAN KEDUA CALON MEMPELAI (N3);
- SURAT KETERANGAN TENTANG ORANG TUA (IBU DAN AYAH) DARI KEPALA DESA/LURAH/PEJABAT SETINGKAT (N4);
- IZIN TERTULIS ORANG TUA ATAU WALI BAGI CALON MEMPELAI (PRIA/WANITA) YANG BELUM MENCAPAI USIA 21 TAHUN, SERTA IZIN DARI PENGADILAN AGAMA JIKA IZIN DARI KEDUA ORANG TUA ATAU WALINYA TIDAK ADA(N5);
- DISPENSASI DARI PENGADILAN AGAMA BAGI CALON SUAMI YANG BELUM MENCAPAI UMUR 19 TAHUN DAN BAGI CALON ISTRI YANG BELUM MENCAPAI UMUR 16 TAHUN;
- SURAT IZIN DARI ATASANNYA/KESATUAANNYA JIKA CALON MEMPELAI ANGGOTA TNI/POLRI;
- PUTUSAN PENGADILAN BERUPA IZIN BAGI SUAMI YANG HENDAK BERISTRI LEBIH DARI SEORANG;
- AKTA CERAI DARI PENGADILAN AGAMA BAGI PASANGAN CALON SUAMI/ISTRI YANG BERSTATUS DUDA/JANDA (CERAI TALAK/CERAI GUGAT);
- KUTIPAN BUKU PENDAFTARAN TALAK/BUKU PENDAFTARAN CERAI BAGI MEREKA YANG PERCERAIANNYA TERJADI SEBELUM BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA;
- AKTA KEMATIAN ATAU SURAT KETERANGAN KEMATIAN CALON SUAMI/ISTRI YANG DIBUAT OLEH KEPALA DESA / LURAH ATAU PEJABAT SETINGKAT BAGI JANDA/DUDA YANG DITINGGAL MATI (N6);
- IZIN UNTUK MENIKAH DARI KEDUTAAN/KANTOR PERWAKILAN NEGARA BAGI WARGA NEGARA ASING DAN HARUS DITERJEMAHKAN KE DALAM BAHASA INDONESIA OLEH PENERJEMAH RESMI;
3. PELAKSANAAN AKAD NIKAH DILAKUKAN DALAM TENGGANG WAKTU 10 HARI KERJA SETELAH PENDAFTARAN, JIKA DILAKUKAN SEBELUM MASA TENGGANG WAKTU TERSEBUT, MAKA HARUS DILAMPIRI SURAT DISPENSASI DARI CAMAT SETEMPAT;
4. AKAD NIKAH DILAKSANAKAN DI LUAR KANTOR URUSAN AGAMA (KUA) KECAMATAN SETEMPAT SETIAP HARI KERJA DARI HARI SENIN S/D JUM’AT PUKUL 07.00 S/D 15.30 WIB;
5. AKAD NIKAH DAPAT DILAKSANAKAN DI LUAR KANTOR URUSAN AGAMA ATAS PERMINTAAN CALON PENGANTIN ATAU WALI SETELAH MENDAPAT PERSETUJUAN DARI PPN/KEPALA KUA KECAMATAN SETEMPAT
6. BIAYA PENCATATAN NIKAH SEBESAR Rp. 30.000,- ( TIGA PULUH RIBU RUPIAH ); BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 51 TAHUN 2000, DISETOR LANGSUNG OLEH CALON MEMPELAI KE KAS NEGARA MELALUI BANK/KANTOR POS PENERIMA SETORAN PNBP;
7. MEMBEBASKAN BIAYA PENCATATAN NIKAH/RUJUK BAGI PASANGAN CALON PENGANTIN YANG TIDAK MAMPU DENGAN MENUNJUKKAN SURAT KETERANGAN MISKIN YANG DITANDATANGANI KEPALA DESA/LURAH YANG DIKETAHUI CAMAT;
8. BAGI CALON MEMPELAI ISTRI YANG AKAN MELANGSUNGKAN AKAD NIKAH DI LUAR WILAYAH TEMPAT TRINGGALNYA, MAKA HARUS DILAMPIRI SURAT REKOMENDASI DARI KEPALA KUA KECAMATAN SETEMPAT;
9. SETELAH AKAD NIKAH, BUKU KUTIPAN AKTA NIKAH (NA) LANGSUNG DIBERIKAN KEPADA YANG BERSANGKUTAN.

INDRAMAYU, NOPEMBER 2007
KEPALA KUA KEC. ARAHAN


Drs. HASBULLAH
NIP. 150263473